Senin, 15 Agustus 2016

Yang terlupakan



Setiap menjelang peringatan detik-detik Proklamasi, dalam memori kita selalu menyeruak kembali sosok-sosok yang berperan penting dalam sejarah Kemerdekaan negara kita, terutama sekali Soekarno-Hatta. Dua orang dwitunggal yang menjadi ikon utama, dimana setiap tanggal 17 Agustus hadir kembali sosoknya dalam perulangan roda waktu, baik di media kaca, film, maupun ulasan media. Peran sentral mereka karena mereka memang dipilih sebagai proklamator Kemerdekaan republik ini  oleh para pemuda, yang menjadi titik awal perjalanan Republik Indonesia dalam menapaki takdir sejarahnya hingga sampai rentang 71 tahun hingga saat ini.

 Meski perlu diingat juga peran para pemuda progressif yang sejak luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom Amerika mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk sesegera mungkin untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang ditanggapi dengan keragu-raguan oleh mereka berdua. Hingga terjadilah peristiwa penculikan Rengasdengklok sebagai prekuel  yang melatarbelakangi rangkaian peristiwa proses perumusan naskah proklamasi sebelum sampai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Peran para pemuda ini seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Latif Hendraningrat, dll seolah tenggelam oleh kebesaran sosok sang dwitunggal. 

Sebelum kemerdekaan, ada sosok Tan Malaka yang sudah lama merumuskan konsepsi tentang Indonesia merdeka, jauh sebelum kedatangan Jepang. Namun sosok-sosok mereka seperti terlupakan dalam panggung sejarah, seolah tiada peran berarti dalam masa awal kelahiran Republik Indonesia.

Narasi sejarah memang selalu begitu, harus ada sosok sentral  yang dihadirkan di atas panggung sebagai titik pusaran peran utama dalam hiruk pikuk rangkaian peristiwa. Ada proses interpretasi ulang setiap realita masa lampau dalam subyektivitas penulisnya, terlepas ada kesengajaan atau tidak. Tidak semua bisa hadir dalam panggung yang sempit, harus ada yang menonjol sebagai pemeran utama, meskipun mereka yang harus  tenggelam di tepi panggung tetap punya peran yang tidak kalah besar. Sosok yang terlupakan dari pentas sejarah bisa jadi karena mereka orang biasa saja tanpa publikasi dan sorot kamera, namun tetap punya andil sekecil dan sesederhana apapun peran mereka. Namun bisa juga karena tidak dikehendaki untuk hadir, seberapa pun  besar peran mereka, oleh tangan-tangan pemegang kendali kekuasaan, ketika kekuasaan juga menjadi penentu arus utama jalannya sejarah. 

Tan Malaka bisa menjadi contoh kecil bapak Republik yang tersingkir dari pertarungan politik ditengah ancaman agresi Belanda  yang hadir kembali untuk mematahkan Republik yang masih muda ini. Tragisnya dia sendiri dieksekusi oleh anak bangsa dalam kekisruhan Agresi Belanda II tahun 1949, hingga makamnya pun hingga kini tidak diketahui. Bung Tomo pun bisa jadi salah satu sosok pahlawan yang terlupakan karena konflik dan sikap kritisnya pada rejim Sukarno maupun masa Suharto. Gelar pahlawan Nasional pun baru disematkan belakangan, berpuluh tahun sejak beliau wafat di tanah suci Mekah tahun 1981.

Akan makin banyak deretan para pahlawan dan pejuang yang terlupakan dari publikasi dan memori kolektif kita sebagai anak bangsa dalam setiap kita memperingati berbagai peristiwa penting, terutama Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Menjelang peringatan detik-detik proklamasi ini, mari kita kenang kembali sosok-sosok yang terlupakan, dimana peran besar dan pengorbanan mereka, lewat tetesan keringat, darah, dan air mata, Republik ini masih tegak berdiri, meski dengan berbagai persoalan yang tiada henti mendera hingga saat ini.
 Mereka yang terlupakan, yang tidak mencari panggung untuk kebesaran namanya, yang entah dimana pusaranya, disaat rekan-rekan mereka diziarahi setiap tahun dalam sebuah taman bernama Taman Makam Pahlawan. Mereka tetaplah pahlawan dengan segala keharuman peran mereka  yang tidak terabadikan dalam teks-teks narasi resmi sejarah, karena mereka memang tidak mencari pamrih dalam panggung kehidupan yang fana.

Sungguh ironis dengan perilaku para pahlawan kesiangan di jaman ini, yang sibuk mencari panggung untuk menampilkan kepalsuan mereka, dalam polesan media atas nama sebuah pencitraan. Kita semua bertepuk tangan riuh, juga dengan segala kepalsuan di hati, sadar maupun tidak sadar. Indonesiaku hari ini, butuh sosok pahlawan yang sebenarnya, meski pun mungkin juga akan terlupakan.

Jadi teringat  lirik lagu “Yang terlupakan” dari Iwan Flas:
denting piano
kala -jemari menari
nada merambat pelan
di kesunyian malam
saat datang rintik hujan
bersama setiap bayang
yang pernah terlupakan.......

( ditulis ditengah malam, dua hari menjelang HUT RI ke 71, biarlah terlupakan, hanya setitik debu dalam makrokosmos semesta yang tidak terjangkaukan nalar


Tidak ada komentar:

Posting Komentar