Sabtu, 17 September 2016

(sekali lagi tentang) Selfie




Sekarang ketika ada kesempatan untuk bepergian jauh, baik acara dinas maupun acara keluarga, ada dua hal yang kupersiapkan sebagai alat dokumentasi, kamera dan sketchbook. Niat awal memang untuk banyak membuat sketsa perjalanan/ travelsketching, namun nampaknya tidak bakal kesampaian, karena waktu yang terbatas tidak sebanding dengan tempat yang harus didatangi. Memotret nampaknya lebih realistis untuk dilakukan daripada membuat sketsa yang minimal butuh waktu setengah jam dengan kualitas standar.
Setelah empat tahun yang lalu pernah ke sini, kembali lagi seperti napak tilas.Ada banyak hal yang masih sama, namun ada juga yang telah berubah. Apalagi bepergian mengawal para ibu-ibu ( yang satu masih lajang sich, kapan kau segera menikah dek? ) ada fenomena yang terlihat menyolok yaitu aktifitas selfie.
Di mana-mana, dalam berbagai tempat destinasi wisata, terlihat aktifitas yang seragam dari para pengunjung, yaitu berselfie ria, dengan segala gadget mutakhirnya, itupun masih ditambah dengan perangkat selfie stick / tongkat narsis (tongsis) sebagai alat bantu untuk memaksimalkan ajang unjuk diri.
Apa memang para traveller sekarang cenderung untuk melihat destinasi wisata sebagai sensasi visual saja dan latar dari foto dokumentasi dan kenarsisan diri, daripada pengalaman menikmati obyek wisata secara tiga dimensional dengan memanfaatkan semua indera dan rasa ( termasuk kesempatan untuk merasakan nuansa dan budaya di tempat yang berbeda )?. Mungkin perlu kajian budaya kontemporer lebih dalam lagi.
Senja itu, di Independence Square, KL, melihat teman-teman yang berselfie ria malah menjadi kelucuan tersendiri. Berbagai upaya maksimal dilakukan untuk unjuk diri. Tanpa mereka sadari, mereka  menjadi obyek candid saat berselfie ria dengan kamera DSLR Nikon d5500 yang selalu kubawa. Memfoto orang yang selfie, jangan-jangan ini juga mulai menjadi tren baru lagi? Realita kontemporer memang penuh dengan hal-hal yang absurd, yang tidak pernah tuntas kita pahami.
Peralatan sketsaku tampaknya memang harus kusingkirkan dulu saat itu, disibukkan proses potret memotret bersama para selfier. Kesempatan sketsa hanya di pagi hari, dalam jeda antara waktu sarapan pagi dan agenda acara hari itu.  
NB: foto-foto behind the scene momen selfie yang lucu-lucu tidak semua bisa dishare di sini, tanpa izin dari miss Dian, si ratu selfie J.

antara kamera dan sketchbook

Independence Square, malam itu


~ hanya sekedar tulisan iseng sehabis hujan deras,  jangan dianggap serius~

Senin, 15 Agustus 2016

Yang terlupakan



Setiap menjelang peringatan detik-detik Proklamasi, dalam memori kita selalu menyeruak kembali sosok-sosok yang berperan penting dalam sejarah Kemerdekaan negara kita, terutama sekali Soekarno-Hatta. Dua orang dwitunggal yang menjadi ikon utama, dimana setiap tanggal 17 Agustus hadir kembali sosoknya dalam perulangan roda waktu, baik di media kaca, film, maupun ulasan media. Peran sentral mereka karena mereka memang dipilih sebagai proklamator Kemerdekaan republik ini  oleh para pemuda, yang menjadi titik awal perjalanan Republik Indonesia dalam menapaki takdir sejarahnya hingga sampai rentang 71 tahun hingga saat ini.

 Meski perlu diingat juga peran para pemuda progressif yang sejak luluh lantaknya Hiroshima dan Nagasaki oleh bom atom Amerika mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk sesegera mungkin untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang ditanggapi dengan keragu-raguan oleh mereka berdua. Hingga terjadilah peristiwa penculikan Rengasdengklok sebagai prekuel  yang melatarbelakangi rangkaian peristiwa proses perumusan naskah proklamasi sebelum sampai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Peran para pemuda ini seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Latif Hendraningrat, dll seolah tenggelam oleh kebesaran sosok sang dwitunggal. 

Sebelum kemerdekaan, ada sosok Tan Malaka yang sudah lama merumuskan konsepsi tentang Indonesia merdeka, jauh sebelum kedatangan Jepang. Namun sosok-sosok mereka seperti terlupakan dalam panggung sejarah, seolah tiada peran berarti dalam masa awal kelahiran Republik Indonesia.

Narasi sejarah memang selalu begitu, harus ada sosok sentral  yang dihadirkan di atas panggung sebagai titik pusaran peran utama dalam hiruk pikuk rangkaian peristiwa. Ada proses interpretasi ulang setiap realita masa lampau dalam subyektivitas penulisnya, terlepas ada kesengajaan atau tidak. Tidak semua bisa hadir dalam panggung yang sempit, harus ada yang menonjol sebagai pemeran utama, meskipun mereka yang harus  tenggelam di tepi panggung tetap punya peran yang tidak kalah besar. Sosok yang terlupakan dari pentas sejarah bisa jadi karena mereka orang biasa saja tanpa publikasi dan sorot kamera, namun tetap punya andil sekecil dan sesederhana apapun peran mereka. Namun bisa juga karena tidak dikehendaki untuk hadir, seberapa pun  besar peran mereka, oleh tangan-tangan pemegang kendali kekuasaan, ketika kekuasaan juga menjadi penentu arus utama jalannya sejarah. 

Tan Malaka bisa menjadi contoh kecil bapak Republik yang tersingkir dari pertarungan politik ditengah ancaman agresi Belanda  yang hadir kembali untuk mematahkan Republik yang masih muda ini. Tragisnya dia sendiri dieksekusi oleh anak bangsa dalam kekisruhan Agresi Belanda II tahun 1949, hingga makamnya pun hingga kini tidak diketahui. Bung Tomo pun bisa jadi salah satu sosok pahlawan yang terlupakan karena konflik dan sikap kritisnya pada rejim Sukarno maupun masa Suharto. Gelar pahlawan Nasional pun baru disematkan belakangan, berpuluh tahun sejak beliau wafat di tanah suci Mekah tahun 1981.

Akan makin banyak deretan para pahlawan dan pejuang yang terlupakan dari publikasi dan memori kolektif kita sebagai anak bangsa dalam setiap kita memperingati berbagai peristiwa penting, terutama Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Menjelang peringatan detik-detik proklamasi ini, mari kita kenang kembali sosok-sosok yang terlupakan, dimana peran besar dan pengorbanan mereka, lewat tetesan keringat, darah, dan air mata, Republik ini masih tegak berdiri, meski dengan berbagai persoalan yang tiada henti mendera hingga saat ini.
 Mereka yang terlupakan, yang tidak mencari panggung untuk kebesaran namanya, yang entah dimana pusaranya, disaat rekan-rekan mereka diziarahi setiap tahun dalam sebuah taman bernama Taman Makam Pahlawan. Mereka tetaplah pahlawan dengan segala keharuman peran mereka  yang tidak terabadikan dalam teks-teks narasi resmi sejarah, karena mereka memang tidak mencari pamrih dalam panggung kehidupan yang fana.

Sungguh ironis dengan perilaku para pahlawan kesiangan di jaman ini, yang sibuk mencari panggung untuk menampilkan kepalsuan mereka, dalam polesan media atas nama sebuah pencitraan. Kita semua bertepuk tangan riuh, juga dengan segala kepalsuan di hati, sadar maupun tidak sadar. Indonesiaku hari ini, butuh sosok pahlawan yang sebenarnya, meski pun mungkin juga akan terlupakan.

Jadi teringat  lirik lagu “Yang terlupakan” dari Iwan Flas:
denting piano
kala -jemari menari
nada merambat pelan
di kesunyian malam
saat datang rintik hujan
bersama setiap bayang
yang pernah terlupakan.......

( ditulis ditengah malam, dua hari menjelang HUT RI ke 71, biarlah terlupakan, hanya setitik debu dalam makrokosmos semesta yang tidak terjangkaukan nalar