Kamis, 17 September 2015

Sepenggal kisah Menjemput Panglima Besar




(Ket gambar: sketsa cat air penyambutan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta, didampingi oleh Syafruddin Prawiranegara dan Letkol Soeharto, di belakang memakai baret adalah Letkol Soeadi, dll.)
Sekarang sedang ramai diputar di bioskop film biopik yang menceritakan perjuangan gerilya Jenderal Soedirman, sebuah perjalanan gerilya panjang selama tujuh bulan melintasi berbagai medan terjal, dalam ancaman serangan dan perburuan belanda. Sebuah perjalanan gerilya yang tidak mudah, mengingat kondisi Panglima Besar yang hanya memiliki satu paru-paru, selepas menjalani operasi. 

Dengan menggunakan tandu yang harus dipanggul para pengawalnya, perjalanan panjang tersebut menjadi sebuah cerita yang heroik, yang terekam dan terdokumentasi dalam berbagai buku sejarah dengan penampilannya yang  legendaris (  sosok kurus berbalut jas dan mantel besar, dengan ikat kepala hitam, lebih kelihatan sebagai sosok spriritualis dibandingkan panglima perang ), dalam berbagai foto, patung, lukisan potret yang terpampang di berbagai instansi dan sekolah.

Kini riwayat utuh perjalanan gerilya Pak Dirman di layar lebar lewat besutan sutradara Viva Westy, bisa disaksikan di bioskop saat ini. Kali ini tidak mereview film tersebut, karena memang belum menyaksikan, sehingga belum  ada yang dapat dikomentari.

Kali ini hanya akan mengulas bagaimana proses penjemputan Pak Dirman untuk mau turun gunung kembali ke ibukota Yoyakarta. Semua berawal dari Perbedaan pandangan antara Panglima Besar Soedirman dengan Dwitunggal Sukarno Hatta dan pemimpin politik lainnya terkait dengan strategi perjuangan menuju Indonesia merdeka 100%. Berbagai perundingan Indonesia-Belanda mulai dari Linggajati, Renville, hingga Roem-Royen pada Mei 1949 mengecewakan kesatuan perjuangan baik TNI maupu kelaskaran. Apalagi Belanda selalu melanggar setiap hasil perundingan sehingga berujung pada Agresi Militer Belanda I (1947) dan II (1948). Apalagi setelah Bung Karno dan Bung Hatta menolak ajakan Pak Dirman untuk memimpin gerilya ke luar kota ketika tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengobarkan agresi Militer II dengan menduduki Yogyakarta lewat sebuah serangan besar-besaran. 
Dengan memendam kekecewaan yang besar, Pak Dirman memutuskan untuk memimpin gerilya ke luar kota Yogyakarta, meski hanya dengan separuh paru-paru, sedangkan Bung Karno dan Bung Hatta pada akhirnya tertawan pihak Belanda dan diasingkan ke luar Jawa.
Ada tiga orang yang diutus untuk menjemput beliau, Letkol Suharto, Rosihan Anwar, dan Frans Mendur. Sebagaimana diketahui bahwa setelah Perundingan Roem Royen, Belanda mulai ditarik dari Yogyakarta, digantikan oleh TNI yang kembali ke Yogya dari medan gerilya tujuh bulan sejak jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948. Soekarno Hatta pun sudah kembali dari pengasingannya di Sumatera. Tinggal panglima Besar Soedirman yang masih enggan untuk turun gunung. Banyak ganjalan yang ada terkait hasil perundingan yang sebenarnya kurang disetujui oleh militer. Jargon merdeka 100% dari Sang Panglima besar kelihatannya menjadi penghambat untuk menyetujui hasil perundingan tersebut. Medan gerilya masih menjadi pilihan strategi perjuangan.
 Hal ini yang mengkhawatirkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, karena melihat ada perpecahan di kalangan sipil-militer. Perjuangan masih panjang, moril para pejuang dan seluruh rakyat bisa tergerus demi melihat ketidakselarasan para pemimpinnya.
7 Juli 1949, Rosihan Anwar sebagai reporter saat itu menceritakan memoarnya tentang kisah penjemputan Pak Dirman. Di Malioboro, Rosihan dikenalkan oleh Frans Mendur ( fotografer peristiwa proklamasi, pendiri Ipphos ) kepada Letkol Suharto, komandan Brigade X wilayah Yogyakarta, yang baru saja memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta. Mereka menaiki landrover dari Kota menuju wonosari, dari sana mobil ditinggal karena medan yang tidak memungkinkan. Mereka berganti menaiki sepeda melewati medan terjal, melewati Gunung Kendeng yang tandus dan kering, sepi penduduk  hingga berjam-jam. Tidak jelas tempat yang akan dituju, hingga pukul 09.00 malam, sepeda ditinggalkan, berganti dengan jalan kaki, hingga tiba di pinggiran desa. Sampailah mereka sampai tempat yang dituju, desa Sobo. Desa yang merupakan markas terakhir P Dirman dari perjalanan panjang gerilyanya.
Pak Dirman terlihat kurus kering, dengan ikat kepala hitam dan sweeter menyambut kedatangan mereka di temapt penginapannya, rumah Pak Lurah.Suharto menyampaikan maksud kedatangannya untuk membujuk Pak Dirman kembali ke Yogyakarta, ibukota Ri saat itu, sedang Rosihan Anwar melakukan tugas jurnalistiknya meliput dan mewawancarai P Dirman. Pada akhirnya Pak Dirman bersedia untuk kembali ke Yogyakarta, sebagai simbol bersatunya pemimpin sipil dan militer. Perbedaan pendapat dan pandangan dikesampingkan, demi tujuan yang lebih besar.
Rosihan Anwar memutuskan untuk kembali lebih dahulu, tidak ikut mengiringi Pak Dirman yang harus tetap ditandu pulang kembali ke Yogya karena hasil peliputan harus segera dikirim lewat perantaraan pesawat UNCI ke Jakarta. Sedang Frans Mendur mengabadikan momen perjalanan kembali Pak Dirman ke Yogyakarta lewat foto maupun pita seluloid, sehingga menjadi salah satu seri dokumentasi masa revolusi yang paling populer. Mulai dari saat mereka meninggalkan desa Sobo, perjalanan melintasi desa dan hutan untuk menuju ke ibukota Yogyakarta, hingga foto-foto penyambutan P Dirman di Gedung Agung Yogyakarta dan defile di Alun-alun Utara. Sepanjang perjalanan rakyat di setiap desa dan kota ayang dilalui rombongan menyambut dan mengelu-elukan sosok P Dirman yang tetap berada dalam tandu yang diangkut bergantian.

8 Juli 1949, Pak Dirman didampingi para perwira dan anak buahnya memasuki kota Yogyakarta. Momen mengharukan terjadi ketika Pak Dirman berjumpa kembali dengan Bung Karno dan Bung Hatta, setelah tujuh bulan berpisah. Foto Pak Dirman yang berpelukan dengan Bung Karno dan Bung Hatta sebenarnya momen ulangan, karena Frans Mendur belum sempat memfoto ketika kedua pemimpin simbol sipil dan militer tersebut bersua dan berpelukan, sehingga harus diulang. Setelah bertemu Presiden dan Wakil Presiden, Pak Dirman segera menuju alun-alun utara untuk memeriksa defile tentara Republik, baik dari TNI maupun kelaskaran. 

Selesai sampai di sini. Gambar di atas sekedar iseng saja membuat sketsa cat air tentang momen penyambutan Jenderal Soedirman setelah kembali dari gerilya, berdasarkan foto dokumentasi yang dibuat oleh Frans Mendur, pendiri Ipphos.