Sekarang sedang ramai diputar di bioskop film biopik yang
menceritakan perjuangan gerilya Jenderal Soedirman, sebuah perjalanan gerilya
panjang selama tujuh bulan melintasi berbagai medan terjal, dalam ancaman
serangan dan perburuan belanda. Sebuah perjalanan gerilya yang tidak mudah,
mengingat kondisi Panglima Besar yang hanya memiliki satu paru-paru, selepas
menjalani operasi.
Dengan menggunakan tandu yang harus dipanggul para
pengawalnya, perjalanan panjang tersebut menjadi sebuah cerita yang heroik, yang
terekam dan terdokumentasi dalam berbagai buku sejarah dengan penampilannya yang legendaris
( sosok kurus berbalut jas dan mantel
besar, dengan ikat kepala hitam, lebih kelihatan sebagai sosok spriritualis
dibandingkan panglima perang ), dalam berbagai foto, patung,
lukisan potret yang terpampang di berbagai instansi dan sekolah.
Kini riwayat utuh perjalanan gerilya Pak Dirman di layar lebar
lewat besutan sutradara Viva Westy, bisa disaksikan di bioskop saat ini. Kali
ini tidak mereview film tersebut, karena memang belum menyaksikan, sehingga
belum ada yang dapat dikomentari.
Kali ini hanya akan mengulas bagaimana proses penjemputan Pak
Dirman untuk mau turun gunung kembali ke ibukota Yoyakarta. Semua berawal dari Perbedaan
pandangan antara Panglima Besar Soedirman dengan Dwitunggal Sukarno Hatta dan
pemimpin politik lainnya terkait dengan strategi perjuangan menuju Indonesia
merdeka 100%. Berbagai perundingan Indonesia-Belanda mulai dari Linggajati,
Renville, hingga Roem-Royen pada Mei 1949 mengecewakan kesatuan perjuangan baik
TNI maupu kelaskaran. Apalagi Belanda selalu melanggar setiap hasil perundingan
sehingga berujung pada Agresi Militer Belanda I (1947) dan II (1948). Apalagi
setelah Bung Karno dan Bung Hatta menolak ajakan Pak Dirman untuk memimpin
gerilya ke luar kota ketika tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengobarkan agresi
Militer II dengan menduduki Yogyakarta lewat sebuah serangan besar-besaran.
Dengan memendam kekecewaan yang besar, Pak Dirman memutuskan untuk memimpin
gerilya ke luar kota Yogyakarta, meski hanya dengan separuh paru-paru,
sedangkan Bung Karno dan Bung Hatta pada akhirnya tertawan pihak Belanda dan
diasingkan ke luar Jawa.
Ada tiga orang yang diutus untuk menjemput beliau, Letkol
Suharto, Rosihan Anwar, dan Frans Mendur. Sebagaimana diketahui bahwa setelah
Perundingan Roem Royen, Belanda mulai ditarik dari Yogyakarta, digantikan oleh
TNI yang kembali ke Yogya dari medan gerilya tujuh bulan sejak jatuhnya
Yogyakarta ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948. Soekarno Hatta pun sudah
kembali dari pengasingannya di Sumatera. Tinggal panglima Besar Soedirman yang
masih enggan untuk turun gunung. Banyak ganjalan yang ada terkait hasil
perundingan yang sebenarnya kurang disetujui oleh militer. Jargon merdeka 100%
dari Sang Panglima besar kelihatannya menjadi penghambat untuk menyetujui hasil
perundingan tersebut. Medan gerilya masih menjadi pilihan strategi perjuangan.
Hal ini yang
mengkhawatirkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, karena melihat ada perpecahan di
kalangan sipil-militer. Perjuangan masih panjang, moril para pejuang dan
seluruh rakyat bisa tergerus demi melihat ketidakselarasan para pemimpinnya.
7 Juli 1949,
Rosihan Anwar sebagai reporter saat itu menceritakan memoarnya tentang kisah penjemputan
Pak Dirman. Di Malioboro, Rosihan dikenalkan oleh Frans Mendur ( fotografer
peristiwa proklamasi, pendiri Ipphos ) kepada Letkol Suharto, komandan Brigade
X wilayah Yogyakarta, yang baru saja memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 atas
kota Yogyakarta. Mereka menaiki landrover dari Kota menuju wonosari, dari sana
mobil ditinggal karena medan yang tidak memungkinkan. Mereka berganti menaiki
sepeda melewati medan terjal, melewati Gunung Kendeng yang tandus dan kering,
sepi penduduk hingga berjam-jam. Tidak jelas
tempat yang akan dituju, hingga pukul 09.00 malam, sepeda ditinggalkan,
berganti dengan jalan kaki, hingga tiba di pinggiran desa. Sampailah mereka
sampai tempat yang dituju, desa Sobo. Desa yang merupakan markas terakhir P
Dirman dari perjalanan panjang gerilyanya.
Pak Dirman terlihat kurus kering, dengan ikat kepala hitam
dan sweeter menyambut kedatangan mereka di temapt penginapannya, rumah Pak
Lurah.Suharto menyampaikan maksud kedatangannya untuk membujuk Pak
Dirman kembali ke Yogyakarta, ibukota Ri saat itu, sedang Rosihan Anwar
melakukan tugas jurnalistiknya meliput dan mewawancarai P Dirman. Pada akhirnya
Pak Dirman bersedia untuk kembali ke Yogyakarta, sebagai simbol bersatunya
pemimpin sipil dan militer. Perbedaan pendapat dan pandangan dikesampingkan,
demi tujuan yang lebih besar.
Rosihan Anwar memutuskan untuk kembali lebih dahulu, tidak
ikut mengiringi Pak Dirman yang harus tetap ditandu pulang kembali ke Yogya
karena hasil peliputan harus segera dikirim lewat perantaraan pesawat UNCI ke
Jakarta. Sedang Frans Mendur mengabadikan momen perjalanan kembali Pak Dirman ke
Yogyakarta lewat foto maupun pita seluloid, sehingga menjadi salah satu seri dokumentasi
masa revolusi yang paling populer. Mulai dari saat mereka meninggalkan desa
Sobo, perjalanan melintasi desa dan hutan untuk menuju ke ibukota Yogyakarta,
hingga foto-foto penyambutan P Dirman di Gedung Agung Yogyakarta dan defile di
Alun-alun Utara. Sepanjang perjalanan rakyat di setiap desa dan kota ayang
dilalui rombongan menyambut dan mengelu-elukan sosok P Dirman yang tetap berada
dalam tandu yang diangkut bergantian.
8 Juli 1949, Pak Dirman didampingi para perwira dan anak
buahnya memasuki kota Yogyakarta. Momen mengharukan terjadi ketika Pak Dirman
berjumpa kembali dengan Bung Karno dan Bung Hatta, setelah tujuh bulan
berpisah. Foto Pak Dirman yang berpelukan dengan Bung Karno dan Bung Hatta
sebenarnya momen ulangan, karena Frans Mendur belum sempat memfoto ketika kedua
pemimpin simbol sipil dan militer tersebut bersua dan berpelukan, sehingga
harus diulang. Setelah bertemu Presiden dan Wakil Presiden, Pak Dirman segera
menuju alun-alun utara untuk memeriksa defile tentara Republik, baik dari TNI
maupun kelaskaran.
Selesai sampai di sini. Gambar di atas sekedar iseng saja membuat sketsa cat air tentang momen penyambutan Jenderal Soedirman setelah kembali dari gerilya, berdasarkan foto dokumentasi yang dibuat oleh Frans Mendur, pendiri Ipphos.