Senin, 22 Desember 2014

The Matrix




Dini hari menjelang fajar.
Suara bimbo sayup-sayup mengalun dari speaker lenovoku. Desis angin kemarau memcumbu pucuk-pucuk dedaunan melengkapi suara latar di tengah kesenyapan para penghuni kolong langit yang masih terlelap dalam tidurnya. Alhmadulillah, masih diberi kesempatan untuk sejenak bersujud di sepertiga malam terakhir, sebuah kesempatan yang amat jarang bisa kulakukan secara konsisten. Masih teringat akan Ramadhan yang baru beberapa hari yang lalu terlewat, malam-malam yang selalu terhiasi oleh tilawah, shalat malam, dengan semangat ibadah yang luar biasa. Entah kenapa, pasca lebaran semangat itu menyusut. Sindrom lebaran? Haha. Mestinya tidak, seharusnya konsistensi ini harus tetap terjaga, meskipun tidak sebaik hari-hari Ramadhan.
Sajadah panjang Bimbo masih lirih terdengar, menyibak kepekaan nurani hidup manusia. Memang hidup manusia tidak selalu linear on the track. Pergulatan hidup selalu saja menyisakan letupan penyimpangan dari bisikan nurani terdalam. Kefanaan hidup seolah hilang dari relung kesadaran umat manusia, menjadi obsesi  konyol akan kekekalan dunia. Sungguh pusaran hidup yang melelahkan merancukan antara “the real” and “the dream”. Mana realitas yang nyata dan mana yang hanya sekedar mimpi? Realkah hidup ini, atau hanya sekedar mimpi?
Teringat diriku akan trilogi film the Matrix beberapa tahun lalu. Apa arti the Matrix? Mungkin tidak banyak yang tahu. Sebagian besar penonton mungkin hanya menangkap keindahan koreografi adegan laga yang tersaji ala John Woo, tanpa memahami apa sebenarnya makna dan logika ceritanya. Film yang dibintangi Keanu Reave memang menjadi fenomena tersendiri dimana muatan filsafatnya  tidak mudah dipahami banyak orang . Ide yang diangkat dalam film ini tentang dunia simulasi dan simulakrum. Bahwa yang kita lihat dan anggap sebagai kenyataan dalam kehidupan sebenarnya adalah simulasi. Dunia ini adalah penjara, dunia yang dihiasi impian, hasrat, obsesi kita pada kebendaan yang akhirnya menutupi kita dari kebenaran. Mungkin secara lebih detail bisa dibaca dalam buku Matrix warrior: Being The One karya Jake Horsley yang membahas dari kacamata filsafat film trilogi The matrix.
Tentang realias manusia yang hidup dalam dunia the matrix yang diciptakan oleh mesin. Ironi, mesin yang diciptakan manusia, pada akhirnya menguasai dan memperbudak manusia. Ditanamkan chip dalam tubuh setiap manusia yang sudah terkungkung dalam the matrix untuk menciptakan realitas palsu yang diyakini ssebagai the real. Ribuan atau jutaan (mungkin milyaran ) manusia yang terbelenggu bagai kepompong untuk dihisap mesin, tidak sadar dengan realitas yang sebenarnya. Realitas palsu yang terbenam dalam memori mereka membawa mereka dalam dunia mimpi yang diyakini sebagai realitas yang sebenarnya, hingga akhirnya datang sosok merphous yang membangunkan mereka dari mimpi yang diciptakan oleh the machine, untuk bangkit melawan.
Bukankah sekarang sama?kita diperbudak oleh mesin, benda-benda artifisial, rutinitas, informasi asimetris dari berbagai media, yang membutakan diri kita akan hal-hal yang penting dan tidak penting, asli maupun palsu, benar dan tidak benar. Kita sekarang hidup dalam hingar bingar “realita” yang tidak bisa kita mengerti asli ataukah palsu. Ibarat mimpi yang menghampiri kita dalam setiap lelapnya tidur kita, kita tidak pernah “sadar” bahwa kita sedang bermimpi. Kesadaran bahwa mimpi adalah “mimpi” muncul setelah kesadaran datang mengganti lelapnya tidur. Atau bisa jadi kita sekarang sedang tertidur, dimana realita yang kita hadapi setiap hari, masa lalu yang kita sesali, maupun masa depan yang kita cemaskan, ternyata tak lebih dari sebuah mimpi. Mimpi yang menenggelamkan kita dalam realitas palsu.
Malam hampir berakhir, sayup-sayup suara murattal mengalun dari sebuah masjid. Sebentar lagi sang fajar datang mengganti sang malam yang harus turun dari singgasananya. Fana. Tiada yang abadi, ketika semua harus menunggu dalam pergiliran eksistensi dan realitas. Bukankah ini relaitas mimpi?