Dini hari menjelang fajar.
Suara bimbo sayup-sayup mengalun dari speaker lenovoku.
Desis angin kemarau memcumbu pucuk-pucuk dedaunan melengkapi suara latar di
tengah kesenyapan para penghuni kolong langit yang masih terlelap dalam
tidurnya. Alhmadulillah, masih diberi kesempatan untuk sejenak bersujud di
sepertiga malam terakhir, sebuah kesempatan yang amat jarang bisa kulakukan
secara konsisten. Masih teringat akan Ramadhan yang baru beberapa hari yang
lalu terlewat, malam-malam yang selalu terhiasi oleh tilawah, shalat malam,
dengan semangat ibadah yang luar biasa. Entah kenapa, pasca lebaran semangat
itu menyusut. Sindrom lebaran? Haha. Mestinya tidak, seharusnya konsistensi ini
harus tetap terjaga, meskipun tidak sebaik hari-hari Ramadhan.
Sajadah panjang Bimbo masih lirih terdengar, menyibak
kepekaan nurani hidup manusia. Memang hidup manusia tidak selalu linear on the
track. Pergulatan hidup selalu saja menyisakan letupan penyimpangan dari
bisikan nurani terdalam. Kefanaan hidup seolah hilang dari relung kesadaran
umat manusia, menjadi obsesi konyol akan
kekekalan dunia. Sungguh pusaran hidup yang melelahkan merancukan antara “the
real” and “the dream”. Mana realitas yang nyata dan mana yang hanya sekedar
mimpi? Realkah hidup ini, atau hanya sekedar mimpi?
Teringat diriku akan trilogi film the Matrix beberapa tahun
lalu. Apa arti the Matrix? Mungkin tidak banyak yang tahu. Sebagian besar
penonton mungkin hanya menangkap keindahan koreografi adegan laga yang tersaji
ala John Woo, tanpa memahami apa sebenarnya makna dan logika ceritanya. Film
yang dibintangi Keanu Reave memang menjadi fenomena tersendiri dimana muatan
filsafatnya tidak mudah dipahami banyak
orang . Ide yang diangkat dalam film ini tentang dunia simulasi dan simulakrum. Bahwa yang kita lihat dan
anggap sebagai kenyataan dalam kehidupan sebenarnya adalah simulasi. Dunia ini
adalah penjara, dunia yang dihiasi impian, hasrat, obsesi kita pada kebendaan
yang akhirnya menutupi kita dari kebenaran. Mungkin secara lebih detail bisa
dibaca dalam buku Matrix warrior: Being The One karya Jake Horsley yang
membahas dari kacamata filsafat film trilogi The matrix.
Tentang realias manusia yang hidup dalam dunia the matrix
yang diciptakan oleh mesin. Ironi, mesin yang diciptakan manusia, pada akhirnya
menguasai dan memperbudak manusia. Ditanamkan chip dalam tubuh setiap manusia
yang sudah terkungkung dalam the matrix untuk menciptakan realitas palsu yang
diyakini ssebagai the real. Ribuan atau jutaan (mungkin milyaran ) manusia yang
terbelenggu bagai kepompong untuk dihisap mesin, tidak sadar dengan realitas
yang sebenarnya. Realitas palsu yang terbenam dalam memori mereka membawa
mereka dalam dunia mimpi yang diyakini sebagai realitas yang sebenarnya, hingga
akhirnya datang sosok merphous yang
membangunkan mereka dari mimpi yang diciptakan oleh the machine, untuk bangkit melawan.
Bukankah sekarang sama?kita diperbudak oleh mesin,
benda-benda artifisial, rutinitas, informasi asimetris dari berbagai media, yang
membutakan diri kita akan hal-hal yang penting dan tidak penting, asli maupun
palsu, benar dan tidak benar. Kita sekarang hidup dalam hingar bingar “realita”
yang tidak bisa kita mengerti asli ataukah palsu. Ibarat mimpi yang menghampiri
kita dalam setiap lelapnya tidur kita, kita tidak pernah “sadar” bahwa kita
sedang bermimpi. Kesadaran bahwa mimpi adalah “mimpi” muncul setelah kesadaran
datang mengganti lelapnya tidur. Atau bisa jadi kita sekarang sedang tertidur,
dimana realita yang kita hadapi setiap hari, masa lalu yang kita sesali, maupun
masa depan yang kita cemaskan, ternyata tak lebih dari sebuah mimpi. Mimpi yang
menenggelamkan kita dalam realitas palsu.
Malam hampir berakhir, sayup-sayup suara murattal mengalun
dari sebuah masjid. Sebentar lagi sang fajar datang mengganti sang malam yang
harus turun dari singgasananya. Fana. Tiada yang abadi, ketika semua harus
menunggu dalam pergiliran eksistensi dan realitas. Bukankah ini relaitas mimpi?