Bukan kunjungan yang terencana, ketika aku sampai di sini.
Bahkan keberadaan gedung inipun baru baru kutahu. Sebuah gallery di kota tua,
yang menjadi mula perkembangan sebuah kota. Namun sayang, keberadaan yang
murung dan suram, karena intrusi air laut yang pelan-pelan merusak dan menista
kawasan ini.
Siang itu panas terik, ketika ku sampai di sana. Sepi.
Lengang. Bangunan lama yang cukup terawat, kontras dengan lingkungan sekitarnya
yang memprihatinkan. Sama-sama menua termakan jaman, namun tak tersentuh
tangan-tangan kreatif yang siap merawat dan memanfaatkan. Masuk ke ruang utama
kelengangan makin terasa. Kosong. Tidak ada apa-apa di sana kecuali deretan
foto-foto kuno yang terpampang di dinding, yang kemungkinan sebentar lagi akan
dilepas dari tempatnya bertahta. Kunjungan yang nyaris terlambat.
Ternyata beberapa hari yang lalu memang terpakai untuk event
pameran fotografi pada era revolusi fisik 1945-1949, dengan mengambil sumber
dari IPPHOS ( Indonesian Press Photo Service ), sebuah kantor berita fotografi
legendaris yang mendokumentasi sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia,
terutama pada masa-masa Perang kemerdekaan. Ingat IPPHOS berarti tak lepas dari
Mendur bersaudara –Frans dan Alex-, wartawan dan fotografer pada era awal
kemerdekaan. IPPHOS mendokumentasikan masa revolusi kemerdekaan 1945-1949,
dimana karya mereka menjadi salah satu bukti sejarah yang penting dan banyak
menghiasi buku-buku sejarah kemerdekaan bangsa. Butuh perjuangan yang tidak
mudah untuk merekam hingga mencetaknya, dalam situasi perang dan kondisi yang
serba terbatas. Foto-foto paling penting dalam awal perjalanan bangsa, yaitu
dokumentasi proklamasi 17 agustus 1945 merupakan salah satu karya besar Frans
Mendur.
Kucoba melangkah pelan menyusuri dinding-dinding sunyi yang
masih menyisakan beberapa foto yang belum sempat dibereskan, sebagian mungkin
sudah dilepas dan dibereskan. Foto-foto hitam putih dengan keterangan seadanya
di bagian bawah, merekam momen-momen penting maupun kehidupan biasa yang
terekam lewat kamera kuno masa itu. Mulai dari tokoh-tokoh besar bangsa hingga
rakyat biasa, semua terekam dan terdokumentasi dengan baik. Sayang hanya
sedikit foto yang bisa kunikmati di sini, seandainya sejak kemarin ke sini
mungkin masih bisa melihat lebih banyak lagi bukti-bukti kegigihan seorang
Frans Mendur. Namun setidaknya foto yang tersisa cukup untuk sekedar membekukan
waktu 60 tahun yang lalu, yang hadir kembali lewat peristiwa penting dan biasa.
Kulihat para founding father duduk berdiskusi, suasana
perundingan dengan belanda, suasana peperangan di garis depan, maupun kehidupan
rakyat jelata di tengah keruwetan dan kesemrawutan hidup. Penderitaan akibat
perang dan sisa-sisa penjajahan, namun tak luput juga sedikit kegembiraan yang
tetap ada dan terlihat, yang dengan cerdiknya ikut terekam. Seolah ingin
membuktikan bahwa kegembiraan dan kegairahan tetap ada dalam suasana chaos
sekalipun. Melihat deretan foto-foto tersebut, kubayangkan bagaimana Mendur
bersaudara harus berjibaku di tengah desingan peluru, melintas berbagai kota
mengikuti perjalanan Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman, hanya untuk sekedar
mengabadikan segala peristiwa yang kelak akan menjadi kenangan dan bukti
sejarah. Sebuah kegigihan yang luar biasa.
Suara langkah kaki yang lain mulai terdengar memecah
kesunyian dan kebengonganku. Sebagian memotret ruangan yang dan sesekali
melongok foto-foto yang tetap membisu, terpaku di dinding. Kelelahan berdiri,
sejenak kududuk di bangku di sudut ruang. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan.
Masih terasa kosong, sunyi, suara langkah kaki-kaki tadi mulai menghilang.
Terpaku sendiri di sini. Foto-foto masih ada, masih bercerita dalam
kebisuannya, apa yang terjadi puluhan tahun yang lalu, menjadi dan menjaga
memori, yang mungkin sudah hilang dari memori di benak manusia.
Sebentar lagi foto-foto itu pasti diturunkan, luruh, bersama
ketidakpedulian manusia kota ini dan bangsa ini akan cerita masa lalunya.
Ternyata orang lebih suka mengejar imajinasi dan mimpi absurd akan modernitas
yang terlihat dari ramainya mall-mall, konser musik. Galeri dan museum hanya
menjadi seonggok gedung pelengkap kota yang (mungkin) sudah tidak dianggap dan
diharap kehadirannya. Kembali kuteringat nasib para pendiri IPPHOS, hidup
mereka pun meredup semenjak peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru. Rejim
yang baru seakan melupakan jasa Frans Mendur dkk hanya karena kedekatan mereka
dengan Bung Karno.
Kumelangkah keluar. Panas matahari ternyata masih terik.