Minggu, 19 Oktober 2014

Suatu siang di Gallery Kota lama



Bukan kunjungan yang terencana, ketika aku sampai di sini. Bahkan keberadaan gedung inipun baru baru kutahu. Sebuah gallery di kota tua, yang menjadi mula perkembangan sebuah kota. Namun sayang, keberadaan yang murung dan suram, karena intrusi air laut yang pelan-pelan merusak dan menista kawasan ini.
Siang itu panas terik, ketika ku sampai di sana. Sepi. Lengang. Bangunan lama yang cukup terawat, kontras dengan lingkungan sekitarnya yang memprihatinkan. Sama-sama menua termakan jaman, namun tak tersentuh tangan-tangan kreatif yang siap merawat dan memanfaatkan. Masuk ke ruang utama kelengangan makin terasa. Kosong. Tidak ada apa-apa di sana kecuali deretan foto-foto kuno yang terpampang di dinding, yang kemungkinan sebentar lagi akan dilepas dari tempatnya bertahta. Kunjungan yang nyaris terlambat.


Ternyata beberapa hari yang lalu memang terpakai untuk event pameran fotografi pada era revolusi fisik 1945-1949, dengan mengambil sumber dari IPPHOS ( Indonesian Press Photo Service ), sebuah kantor berita fotografi legendaris yang mendokumentasi sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada masa-masa Perang kemerdekaan. Ingat IPPHOS berarti tak lepas dari Mendur bersaudara –Frans dan Alex-, wartawan dan fotografer pada era awal kemerdekaan. IPPHOS mendokumentasikan masa revolusi kemerdekaan 1945-1949, dimana karya mereka menjadi salah satu bukti sejarah yang penting dan banyak menghiasi buku-buku sejarah kemerdekaan bangsa. Butuh perjuangan yang tidak mudah untuk merekam hingga mencetaknya, dalam situasi perang dan kondisi yang serba terbatas. Foto-foto paling penting dalam awal perjalanan bangsa, yaitu dokumentasi proklamasi 17 agustus 1945 merupakan salah satu karya besar Frans Mendur.
Kucoba melangkah pelan menyusuri dinding-dinding sunyi yang masih menyisakan beberapa foto yang belum sempat dibereskan, sebagian mungkin sudah dilepas dan dibereskan. Foto-foto hitam putih dengan keterangan seadanya di bagian bawah, merekam momen-momen penting maupun kehidupan biasa yang terekam lewat kamera kuno masa itu. Mulai dari tokoh-tokoh besar bangsa hingga rakyat biasa, semua terekam dan terdokumentasi dengan baik. Sayang hanya sedikit foto yang bisa kunikmati di sini, seandainya sejak kemarin ke sini mungkin masih bisa melihat lebih banyak lagi bukti-bukti kegigihan seorang Frans Mendur. Namun setidaknya foto yang tersisa cukup untuk sekedar membekukan waktu 60 tahun yang lalu, yang hadir kembali lewat peristiwa penting dan biasa.
Kulihat para founding father duduk berdiskusi, suasana perundingan dengan belanda, suasana peperangan di garis depan, maupun kehidupan rakyat jelata di tengah keruwetan dan kesemrawutan hidup. Penderitaan akibat perang dan sisa-sisa penjajahan, namun tak luput juga sedikit kegembiraan yang tetap ada dan terlihat, yang dengan cerdiknya ikut terekam. Seolah ingin membuktikan bahwa kegembiraan dan kegairahan tetap ada dalam suasana chaos sekalipun. Melihat deretan foto-foto tersebut, kubayangkan bagaimana Mendur bersaudara harus berjibaku di tengah desingan peluru, melintas berbagai kota mengikuti perjalanan Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman, hanya untuk sekedar mengabadikan segala peristiwa yang kelak akan menjadi kenangan dan bukti sejarah. Sebuah kegigihan yang luar biasa.
Suara langkah kaki yang lain mulai terdengar memecah kesunyian dan kebengonganku. Sebagian memotret ruangan yang dan sesekali melongok foto-foto yang tetap membisu, terpaku di dinding. Kelelahan berdiri, sejenak kududuk di bangku di sudut ruang. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan. Masih terasa kosong, sunyi, suara langkah kaki-kaki tadi mulai menghilang. Terpaku sendiri di sini. Foto-foto masih ada, masih bercerita dalam kebisuannya, apa yang terjadi puluhan tahun yang lalu, menjadi dan menjaga memori, yang mungkin sudah hilang dari memori di benak manusia.
Sebentar lagi foto-foto itu pasti diturunkan, luruh, bersama ketidakpedulian manusia kota ini dan bangsa ini akan cerita masa lalunya. Ternyata orang lebih suka mengejar imajinasi dan mimpi absurd akan modernitas yang terlihat dari ramainya mall-mall, konser musik. Galeri dan museum hanya menjadi seonggok gedung pelengkap kota yang (mungkin) sudah tidak dianggap dan diharap kehadirannya. Kembali kuteringat nasib para pendiri IPPHOS, hidup mereka pun meredup semenjak peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru. Rejim yang baru seakan melupakan jasa Frans Mendur dkk hanya karena kedekatan mereka dengan Bung Karno.
Kumelangkah keluar. Panas matahari ternyata masih terik.

Minggu, 12 Oktober 2014

Hujan di Minggu sore.....




Beberapa hari ini Panas benar-benar menyengat, seakan matahari terasa lebih dekat ke bumi. Hujan sore ini terasa sebagai oase yang muncul sayup-sayup di tengah terik dan panasnya padang pasir yang membentang luas. Tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan, karena hari-hari tetap terasa panas dengan debu yang beterbangan tertiup angin, sementara rerumputan terasa meranggas dan mengering sendu.
Tak terasa tiba-tiba langit sedikit kelabu, perlahan butiran-butiran kecil air mulai menggoyang batang-batang pandan di sudut inner cour rumahku. Perlahan derasnya mulai terasa, kecipak air sedikit memantul dari butiran koral kecil di taman, suara derasnya makin terasa. Keponakanku yang tertidur pulas di ujjung sofa tetap terlelap, tidak  merasakan sedikitpun butiran kecil air hujan yang sedikit tampias tertiup angin yang masuk ke dalam rumah.
Baru saja aku bangun dari tidur siang sejenak, menikmati sejenak garis-garis vertikal yang menari dengan latar dinding pagar berlapis kamprotan semen tanpa cat yang terlihat kelabu. Abu-abu, sedikit gelap, tapi menenangkan. Anak-anakku masih tertidur di kamar, mainan berantakan belum sempat dirapikan.
Aku suka hujan, lebih tepanya perindu hujan. Entah kenapa orang-orang lebih senang mengutuk dan mengeluhkan datangnya butiran air yang muncul dari titik jenuh awan, aku tidak tahu. Apakah mereka tidak merasakan apakah tertumpahnya air dari langit juga membasuh hati yang kering selain membasuh keringnya tanah dan bumi? Entahlah.
Bagiku, hujan tidak hanya oase bagi bumi, juga  oase bagi jiwa. Hujan mestinya membuat kita berhenti sejenak dari perjalanan dan ketergesa-gesaan yang dihela oleh sang waktu yang seolah memaksa kita untuk tidak sanggup berhenti, selelah apapun kondisi kita. Hmm, ...
Mestinya hujan bisa menjadi sumber inspirasi dari luapan jiwa, yang mewujud dalam karya. Kla Project menjadikan gerimis sebagai inspirasi terciptanya lagu dengan judul yang sama, termasuk juga lagu lawas Ratih Purwasih, mapun syair puisi dari Penyair Besar Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono. Semua bercerita tentang hujan, maupun hujan sebagai latar yang membangkitkan memori tentang suatu peristiwa, seseorang, atau apapun.
Mengingat gerimis, mengingat momen denganmu pada suatu ketika di pelataran parkir Kaliurang, seminggu setelah janji suci sepuluh tahun lalu. Gerimis yang tiba-tiba tertumpah pelan-pelan, bersamaan dengan pekat dan makin kelabunya awan. Segera kubentangkan payung lusuh kita, berjalan kita menapak tangga-tangga di hutan alam Kaliurang. Suara kepak sayap burung-burung liar yang terbang dari dahan menghindari hujan yang makin lama makin deras. Mistis dan romantis, baru seminggu kita mengenal masing-masing. Masihkah kau mengingat itu?
Begitu cepat waktu berlalu, sepuluh tahun sudah. Seolah baru kemaren. Butiran-butiran itu seolah mengingatkan kembali. Perlahan hujan mulai mereda, menyisakan basah pada dedaunan, tanah, dan kaca jendela. Sedikit tampias pada lantai rumah yang memang kubiarkan terbuka. Damai, hening, masih tertinggal, semoga tidak ikut menghilang bersama meredanya hujan. Dirimu bangun, apakah ikut merasakan gerimis juga di hatimu?
Ditulis Minggu malam hari, masih berharap besok pagi sang hujan akan datang lagi. J