Jumat, 19 September 2014

Haji Backpacker



Cerita dibuka dengan suasana mencekam dalam ruang interogasi di pos penjagaan perbatasan Iran. Mada, Sang tokoh utama dalam cerita ini menghadapi serangkaian intimidasi ditengah kecemasan dan keletihan dalam pengembaraan panjang yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Pengembaraan? Ya, spot cerita di Iran bukanlah awal dan akhir sebuah journey. Awal mula cerita adalah dari tanah air, Indonesia, yang kemudian berlanjut ke Thailand, Vietnam, Cina, India, Tibet, Nepal, Iran, dan berakhir di tanah suci Mekkah di Arab Saudi.
Novel perjalanan, demikianlah novel yang ditulis oleh Aguk Irawan MN ini disebut. Memang sebuah novel dengan genre sekarang mulai menjadi trend, yang sebenarnya merupakan novelisasi dari sebuah film dengan judul yang sama yang kemungkinan rilis 2 Oktober 2014, sebagaimana yang tertulis dalam pembatas bukunya. Makanya ketika kita membaca novel ini seolah-olah seperti menyaksikan alur sebuah film dalam penceritaan yang tidak linear. Plot yang maju mundur membuat kita sedikit demi sedikit mencerna konteks  dan latar belakang yang melingkupi pengembaraan seorang Mada.
Dari judul cerita yang ada mungkin anda sudah dapat menebak, bukan sebuah pengembaraan biasa seorang anak manusia dengan backpack lusuh di punggungnya dari satu negara ke negara lain. Bukan sekedar perjalanan fisik semata, tetapi juga perjalanan spiritual dan filosofis dari seorang Mada. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh editornya dalam prolog sebelum anda membuka bab demi bab, feel yang akan dirasakan tidak sama dengan petualangan filosofis dalam novel “Alkemis” karya Paulo Coelho yang lebih cenderung zen journey dengan nuansa kehampaan dan keheningan untuk menggali dan menyelami makna diri. Perjalanan spiritual Mada menjadi pengembaraan yang  menggebu dan “penuh” namun tetap syarat makna.
Pengembaraan Mada dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain berjalan paralel dengan pengembaraan batin yang melingkupi sang sosok utama, tentang dualisme cintanya, cinta Ilahiyah yang dibuktikan dengan keteguhan ibadahnya pada Sang Maha Kuasa, yang berhadapan dengan realita pahit kisah cintanya pada seorang Sofia. Kandasnya obsesi pada sofia menjadi pemberontakan Mada pada keadilan dan janji Allah, yang kemudian merubahnya menjadi sosok yang remuk redam dalam jiwa dan raga. Kematian kedua orang tuanya secara tragis dalam waktu yang berbeda makin merapuhkannya. Kerapuhan telah membawanya berkeliling negeri-negeri eksotis tanpa rencana, yang sebenarnya merupakan bagian dari tuntunan tangan Tuhan, yang membuat kesadarannya tersingkap i demi sedikit lewat berbagai peristiwa dan berbagai tokoh yang ditemuinya.
Banyak ambiguitas yang terus berkelindan sepanjang alur novel ini. Deskripsi lokasi yang secukupnya dan tidak berlebihan, yang bersamaan dengan mimpi dan realitas absurd yang muncul dalam pengembaraan dan pergulatan batin Mada, yang mau tidak mau akan membuat kita sedikit mengerutkan dahi. Negeri-negeri yang dijelajahi Mada tak lebih dari background perjalanan batin dan spiritualnya yang tergambar lewat pergulatan batin, mimpi-mimpi yang terus berulang dalam absurditas kejadian yang tidak mudah untuk dicerna dan diterjemahkan. Ada momen-momen yang membuat kita ikut bergerak cepat secepat pergerakan Mada ke berbagai negara, di saat tertentu ada saat-saat untuk sedikit berhenti sejenak bertafakur.
Berbulan-bulan pengembaraan panjang telah dilaluinya, yang berakhir di kota suci mekkah, bertepatan dengan bulan haji. Namun perjalanan panjang yang sebenarnya adalah perjalanan ke relung batinnya, yang mesti dilalui lewat proses yang “berdarah-darah”. Kesadaran jiwanya yang muncul kembali lewat berbagai peristiwa yang saling tali temali yang terhubung dari Kota ke kota di berbagai negara yang dilewatinya. Berkilo-kilo jarak yang ditempuh menghimpun berkilo-kilo kesadaran baru akan arti hidup dan Sang Maha Hidup.
Membaca novel ini selain mendapatkan pencerahan baru, juga  menjadi pengetahuan dan penasaran baru akan negeri-negeri yang dijelajahi Mada dengan Backpack terpanggul di punggungnya. Seolah kita juga menapak tilas dan menjelajah wilayah eksostis laksana kru National Geographic dengan berbagai keunikan dan keajaiban budayanya, walau hanya sekilas. Rasa penasaran mungkin akan akan terpuaskan Oktober nanti ketika filmnya muncul di layar perak.
Sementara ini nikmati dulu baris demi baris, bab demi bab, jiwa anda pun akan ikut mengembara dan bergerak, berpindah dari satu negeri ke negeri lain, menuai sebuah kesadaran baru. Karena sejauh-jauh perjalanan, toh kita mestinya akan kembali ke diri kita yang sebenarnya. Itulah makna perjalanan yang sebenarnya, berjalan menemukan “diri kita sendiri”. Sudahkan anda menemukannya?
Mulai ditulis di dini hari, tersambung keesokan harinya.

Selasa, 16 September 2014

Der Untergang



Saat itu perang dunia Kedua tengah berkecamuk di Eropa, Asia, dan Afrika. Berawal dari penyerbuan Nazi Jerman ke Polandia, yang menyebabkan Eropa menjadi medan peperangan besar yang membelah kekuatan dunia menjadi dua poros, Sekutu (Inggris, Perancis, Amerika, Rusia, dkk) dan Axis (Jerman, Itali, Jepang). Saat itu Jerman masih dalam posisi di atas angin, setelah serangkaian serangan menyebabkan sejumlah negara eropa takluk, termasuk Perancis.
November 1942,. Serombongan perempuan muda dalam kegelapan malam menerobos ke dalam pertahanan superketat di Markas Besar Adolf Hitler yang disebut WolfLair (sarang serigala) di Rastenburg, Prusia Timur. Mereka menjalani tes untuk untuk menjadi sekretaris Sang Fuhrer ( julukan/ gelar Hitler ), salah satunya Traudl Junge, gadis dari Munich. Pada akhirnya dia yang terpilih untuk menjadi salah satu sekretaris sang diktator besar, menulis dan mencatat semua statement , pernyataan, dan testamen Hitler, termasuk merekam keseharian dan dinamika politik yang  melingkupi Hitler beserta orang-orang disekitarnya dalam memorinya.
Berlin, 20 April 1945, 2,5 tahun kemudian bertepatan ulang tahun ke 56 Hitler.
Situasi sudah berubah, nasib Jerman berada di ujung tanduk setelah serangkaian kekalahan demi kekalahan dialaminya, termasuk sekutunya: Jepang dan Italia. Kehancuran Jerman di Stalingrad ( Battle of Stalingrad ) menjadi titik balik keruntuhan dan kejatuhan ( Der Untergang ) rejim Hitler. Rusia sudah hampir memasuki Berlin dari front Timur, sementara negara Eropa barat dan Amerika menyerbu dari front Barat. Tinggal menunggu waktu saja Berlin jatuh.
Moral serdadu Jerman runtuh, termasuk para Jenderalnya. Bahkan orang –orang di lingkaran dalam Hitler sudah mulai putus asa, dan mewacanakan untuk membuat kesepakatan damai dengan Sekutu, meskipun masih ada yang kukuh dan setia dengan ideologi Hitler sampai titik darah terakhir, salah satunya Menteri propaganda nazi, Joseph Goebbels dan isterinya, Magda. Hitler tetap bersikeras untuk tidak menyerah, dan memerintahkan para Jenderalnya untuk tetap melanjutkan perlawanan yang sia-sia.
Di dalam bunkernya, Hitler hanya bisa mendengar rentetan tembakan dan dentuman bom dari pihak Rusia yang menghujani langit Berlin. Wajah-wajah putus asa dan ketakutan terlihat dari para pembantu Hitler yang ikut bersembunyi dalam bunker. Persediaan amunisi, makanan, bahan bakar makin menipis, tidak ada gunanya untuk melanjutkan pertempuran lagi. Bujukan agar Hitler meninggalkan Berlin agar Jerman tidak segera jatuh ke tangan Rusia secara tragis diabaikan oleh sang Fuhrer. Tampaknya mimpi kebesaran Jerman raya menumpulkan akal sehat dan nalar Hitler.
Sang sekretaris, Traudl Junge menjadi saksi hari-hari terakhir Adolf Hitler dalam menanti saat keruntuhannya di dalam bunker, kemarahan Hitler terhadap para Jenderalnya yang tidak mentaati perintahnya, sikap keras kepalanya untuk tetap membiarkan rakyat Berlin semakin menderita oleh rangkaian serangan bom dari pihak Rusia, serta pernikahan yang dilakukan Hitler bersama Eva Braun, tepat sehari sebelum Hitler memutuskan untuk bunuh diri daripada menyerah setelah Berlin jatuh. Drama tragis ini yang kemudian dituangkan dalam buku “ Until The Final Hour”, yang ditulis bersama Melissa Muller. Buku ini menjadi salah satu inspirasi pembuatan film Downfall, film Jerman dan Austria yang merekonstruksi sepuluh hari terakhir Hitler menjelang kejatuhannya. Film Downfall yang dirilis tahun 2004 menjadi film tentang Hitler yang paling fenomenal. Deskripsi tentang Hitler dianggap sebagai yang paling akurat dibandingkan semua film yang menampilkan sosok Adolf Hitler, bahkan adegan kemarahan Hitler di hadapan pembantunya menjadi inspirasi parodi yang paling banyak dibuat dan muncul di Youtube.
Traudl Junge juga menjadi saksi parade keputusasaan dari para pamuja “tuhan” Hitler. Kejatuhan Hitler dianggap sebagai kehancuran segala-galanya, seolah hidup menjadi tidak berarti lagi. Salah satunya adalah Magda Goebbels, wanita yang sangat fanatik terhadap ideologi Sosialisme Nasional Hitler. Bersama suaminya akhirnya memutuskan untuk ikut bunuh diri bersama Hitler setelah sebelumnya meracun kelima anaknya dengan kapsul sianida. Tragis.
Bagi anda yang pernah menyaksikan film Downfall, setengah jam terakhir menjadi panggung hitam kesia-siaan hidup. Hitler telah demikian luar biasa menyihir para pengikutnya untuk meyakininya sebagai segala-galanya, hidup menjadi absurd bagaikan mata yang tertipu fatamorgana oase di padang pasir tandus. Keputusan Hitler untuk mengakhiri hidup secara tragis diikuti oleh sebagian pengikutnya yang terjebak keputusasaan akut. Sebagian lain memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup, melarikan diri dari bunker setelah Rusia dengan jumawa memasuki kota Berlin tanpa perlawanan berarti.
Beruntung Traudl junge memilih untuk tetap bertahan hidup, meskipun tetap menjalani kehidupan yang tidak mudah pasca berakhirnya perang Dunia Kedua. Kesaksiannya dalam “Until the Final Hour” membuat dunia tahu apa sesungguhnya yang terjadi dalam kehidupan keseharian Hitler, terutama hari-hari terakhirnya (meskipun fakta kematiannya masih menjadi kontroversi bagi sebagian kalangan yang tidak mempercayai narasi resmi kematian Hitler dengan cara bunuh diri ).
Semoga ini menjadi pelajaran bersama, betapa tragis dan sia-sianya kehidupan yang dijalani bersama “dajjal” yang membiuskan racun seolah madu. Betapa kuat dan perkasanya dia, sesungguhnya ada Sang Maha Perkasa yang serba segala-galanya. Naik dan runtuhnya para dajjal menjadi sunatullah yang selalu dilupakan oleh para pembuta nurani, ibarat pesta yang pasti akan berakhir. Tidakkah kita berharap keabadian yang sesungguhnya?
bunker Hitler setelah jatuh ke tangan Rusia
Menjelang tengah malam, sayup-sayup”Ujung aspal PondoK Gede” dari Iwan Fals mengalun pelan dari speaker laptop, meratapi tersingkirnya pribumi oleh kekuatan kapital para pemodal,  atas nama modernitas dan kemajuan kota.
Tulisan selesai sampai di sini