Cerita dibuka dengan suasana mencekam dalam ruang interogasi
di pos penjagaan perbatasan Iran. Mada, Sang tokoh utama dalam cerita ini
menghadapi serangkaian intimidasi ditengah kecemasan dan keletihan dalam
pengembaraan panjang yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Pengembaraan? Ya,
spot cerita di Iran bukanlah awal dan akhir sebuah journey. Awal mula cerita
adalah dari tanah air, Indonesia, yang kemudian berlanjut ke Thailand, Vietnam,
Cina, India, Tibet, Nepal, Iran, dan berakhir di tanah suci Mekkah di Arab
Saudi.
Novel perjalanan, demikianlah novel yang ditulis oleh Aguk
Irawan MN ini disebut. Memang sebuah novel dengan genre sekarang mulai menjadi
trend, yang sebenarnya merupakan novelisasi dari sebuah film dengan judul yang
sama yang kemungkinan rilis 2 Oktober 2014, sebagaimana yang tertulis dalam
pembatas bukunya. Makanya ketika kita membaca novel ini seolah-olah seperti
menyaksikan alur sebuah film dalam penceritaan yang tidak linear. Plot yang
maju mundur membuat kita sedikit demi sedikit mencerna konteks dan latar belakang yang melingkupi
pengembaraan seorang Mada.
Dari judul cerita yang ada mungkin anda sudah dapat menebak,
bukan sebuah pengembaraan biasa seorang anak manusia dengan backpack lusuh di
punggungnya dari satu negara ke negara lain. Bukan sekedar perjalanan fisik
semata, tetapi juga perjalanan spiritual dan filosofis dari seorang Mada.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh editornya dalam prolog sebelum anda
membuka bab demi bab, feel yang akan dirasakan tidak sama dengan petualangan
filosofis dalam novel “Alkemis” karya Paulo Coelho yang lebih cenderung zen journey dengan nuansa kehampaan dan
keheningan untuk menggali dan menyelami makna diri. Perjalanan spiritual Mada
menjadi pengembaraan yang menggebu dan
“penuh” namun tetap syarat makna.
Pengembaraan Mada dari satu kota ke kota lain, dari satu
negara ke negara lain berjalan paralel dengan pengembaraan batin yang
melingkupi sang sosok utama, tentang dualisme cintanya, cinta Ilahiyah yang
dibuktikan dengan keteguhan ibadahnya pada Sang Maha Kuasa, yang berhadapan
dengan realita pahit kisah cintanya pada seorang Sofia. Kandasnya obsesi pada
sofia menjadi pemberontakan Mada pada keadilan dan janji Allah, yang kemudian
merubahnya menjadi sosok yang remuk redam dalam jiwa dan raga. Kematian kedua
orang tuanya secara tragis dalam waktu yang berbeda makin merapuhkannya. Kerapuhan
telah membawanya berkeliling negeri-negeri eksotis tanpa rencana, yang
sebenarnya merupakan bagian dari tuntunan tangan Tuhan, yang membuat
kesadarannya tersingkap i demi sedikit lewat berbagai peristiwa dan berbagai
tokoh yang ditemuinya.
Banyak ambiguitas yang terus berkelindan sepanjang alur
novel ini. Deskripsi lokasi yang secukupnya dan tidak berlebihan, yang
bersamaan dengan mimpi dan realitas absurd yang muncul dalam pengembaraan dan
pergulatan batin Mada, yang mau tidak mau akan membuat kita sedikit mengerutkan
dahi. Negeri-negeri yang dijelajahi Mada tak lebih dari background perjalanan
batin dan spiritualnya yang tergambar lewat pergulatan batin, mimpi-mimpi yang
terus berulang dalam absurditas kejadian yang tidak mudah untuk dicerna dan
diterjemahkan. Ada momen-momen yang membuat kita ikut bergerak cepat secepat
pergerakan Mada ke berbagai negara, di saat tertentu ada saat-saat untuk
sedikit berhenti sejenak bertafakur.
Berbulan-bulan pengembaraan panjang telah dilaluinya, yang
berakhir di kota suci mekkah, bertepatan dengan bulan haji. Namun perjalanan
panjang yang sebenarnya adalah perjalanan ke relung batinnya, yang mesti
dilalui lewat proses yang “berdarah-darah”. Kesadaran jiwanya yang muncul
kembali lewat berbagai peristiwa yang saling tali temali yang terhubung dari
Kota ke kota di berbagai negara yang dilewatinya. Berkilo-kilo jarak yang
ditempuh menghimpun berkilo-kilo kesadaran baru akan arti hidup dan Sang Maha
Hidup.
Membaca novel ini selain mendapatkan pencerahan baru,
juga menjadi pengetahuan dan penasaran
baru akan negeri-negeri yang dijelajahi Mada dengan Backpack terpanggul di
punggungnya. Seolah kita juga menapak tilas dan menjelajah wilayah eksostis
laksana kru National Geographic dengan berbagai keunikan dan keajaiban
budayanya, walau hanya sekilas. Rasa penasaran mungkin akan akan terpuaskan
Oktober nanti ketika filmnya muncul di layar perak.
Sementara ini nikmati dulu baris demi baris, bab demi bab,
jiwa anda pun akan ikut mengembara dan bergerak, berpindah dari satu negeri ke
negeri lain, menuai sebuah kesadaran baru. Karena sejauh-jauh perjalanan, toh
kita mestinya akan kembali ke diri kita yang sebenarnya. Itulah makna
perjalanan yang sebenarnya, berjalan menemukan “diri kita sendiri”. Sudahkan
anda menemukannya?
Mulai ditulis di dini hari, tersambung keesokan harinya.