Senin, 21 Desember 2015

Langit Kelabu di benteng Fort Rotterdam Makkassar



Dari balik dinding kaca lebar dari kamar hotel Grand Clarion di Jl AP Pettarani  Makassar terlihat lansekap kota Makassar dengan sosok Menara Pinishi Universitas Negeri Makassar yang menjulang sendirian diantara gedung-gedung yang lebih rendah. Cuaca terlihat murung sejak semalaman, setibanya ceck in ke sini. Tetesan air hujan yang tertumpah sejak semalaman tanpa henti, meninggalkan jejak pada dinding kaca, menciptakan pendar embun yang sedikit memburamkan kejernihan kaca. Tidak terlihat tanda-tanda akan adanya kecerahan pada langit, padahal banyak agenda yang harus dilakukan hari ini.

Ini memang kali pertamaku datang ke Makassar untuk mendampingi Tim Ahli Bangunan Gedung Kota Semarang melakukan kunjungan kerja dan studi banding di sini. Sehari sebelumnya kami sudah ke Balikpapan. Penerbangan dari Balikpapan ke Makassar yang cukup memacu adrenalin karena kondisi cuaca yang buruk, yang ternyata masih berlanjut setiba kami di Makassar.
Turun dari lantai 11 menuju area breakfast hujan malah makin deras. Dari kaca lobby hotel terlihat guratan rembesan air hujan yang makin mengaburkan kejernihan kaca. Entahlah, apakah agenda hari ini bisa terlaksana dengan baik.

Benteng Fort Rotterdam
 
sketsa cat air lansekap Benteng Fort Rotterdam ( pena pigma micron, portabel watercolor Sakura Koi, cansonpaper A5 )

Sketsa Cat Air selasar Museum La Galigo, komplek Benteng Fort Rotterdam (
pena pigma micron, portabel watercolor Sakura Koi, cansonpaper A5)

Sore hari, rinai hujan mulai berhenti menyisakan tetesan dan genangan di sana sini ketika akhirnya kami sampai di salah satu situs yang cukup terkenal di Makassar, yaitu benteng Fort Rotterdam/ benteng Ujung Pandang. Seharian ini kami sudah selesaikan agenda utama di Dinas Tata Kota Makassar untuk sharing dan bertukar pengalaman tentang penyelenggaraan bangunan gedung, masih sempat kami shalat Jumat di Masjid Al Markaz Al Islami, salah satu ikon kota Makassar. Kelabunya langit Makassar selalu mengiringi perjalanan kami seharian ini, berselang-seling derasnya hujan dan rintik gerimis.
Sempatkan dulu kami untuk berfoto-foto di depan tulisan Fort Rotterdam sebelum akhirnya masuk ke dalam kompleks benteng. Ternyata di dalam cukup luas dengan sebagian besar bangunan masih tersisa dan kelihatannya terawat baik.
Pandanganku menyapu lansekap yang terpampang di depan mata, beberapa pengunjung masih terlihat dalam sisa sore yang sebentar lagi hilang, diganti gelapnya malam. Beberapa teman mulai berpencar menyusuri lokasi benteng.
Sebagai informasi, nama asli benteng ini adalah Benteng ujung Pandang, yang dibangun oleh Raja Gowa ke 9 pada tahun 1545, dengan menggunakan batuan karst dari Maros, dengan bentuk seekor penyu. Perjanjian Bungayya mengharuskan menyerahkan benteng ini kepada penjajah Belanda, yang kemudian oleh Cornelis Speelman mengubahnya menjadi benteng Fort Rotterdam, sesuai nama tempat asalnya. Sungguh sebuah kisah sejarah yang pedih. Sisa kepedihan ini masih terlihat dari kondisi benteng yang mulai melapuk tergerus jaman dan masa. Lubang-lubang seukuran kelapa bekas tembakan meriam Belanda masih terlihat di sana-sini, dengan tumbuhan lumut yang terlihat berebut melapukkan keperkasaan benteng ini.
Melewati bekas penjara Pangeran diponegoro yang sayangnya kami tidak bisa masuk ke sana, kesan kemurungan dari sisa jejak historis yang pedih masih terasa. Kucoba untuk naik tangga batu menuju salah satu bastion benteng (terdapat empat bastion ), yang dari sana terlihat  lansekap pesisir kota Makassar.
Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi 400 tahun lalu, ketika benteng yang menjadi markas pasukan katak Gowa Tallo harus jatuh ke tangan Belanda. Benteng ini dibangun ketika terjadi ketegangan antara VOC yang memaksakan monopoli perdagangan dan melarang berniaga dengan Portugis bagi armada niaga Kerajaan Gowa, sementara Sultan Alauddin tetap berpegang pada komitmen pada perdagangan yang tidak didikte siapapun. Ketika pecah perang Makassar pada 1666-1667 pada masa Sultan Hasanuddin, benteng inipun akhirnya harus jatuh ke tangan Belanda berdasarkan Perjanjian Bungayya, dan fungsinya berubah dari benteng pertahanan menjadi gudang rempah-rempah milik penjajah Belanda. Ironi yang tetap berulang hingga kini, ketika satu persatu harta kekayaan bangsa harus direlakan akibat keserakahan sebagian kaum yang merasa kuat. Hiruk pikuk freeport akhir-akhir ini menguatkan persepsi tersebut, bahwa penjajahan masih tetap langgeng dalam betuk apapun.
Masih tersisa parit di sekeliling benteng, sebagaimana tipikal benteng pertahanan pada umumnya, dengan kondisi yang kotor. Rintik hujan mulai turun kembali sesaat ketika aku sedikit mengabadikan lansekap atas dengan mode panoramic view, segera turun kembali. Kali ini yang kutuju adalah Museum La Galligo yang menempati bangunan kuno memanjang dengan deretan pilar-pilar klasiknya pada selasar.
Museum La Galligo menyimpan beberapa benda peninggalan masa lalu yang merepresentasikan sisa kejayaan Kerajaan Gowa dan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu. Meski sebagian benda purbakala yang ada merupakan replika/ prototipe, bukan benda asli, namun keberadaannya cukup menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada era Kerjaan Gowa dan sekitarnya. Suasana di dalam cukup temaram, karena fokus cahaya lampu pada obyek benda purbakala yang dipamerkan. Sempat kumanfaatkan kamera untuk merekam sisa saksi bisu kejayaan masyarakat Sulawesi masa lalu.
 Puas berkeliling, kembali keluar untuk mengeksplorasi lansekap benteng seluas 3 ha tersebut. Ternyata ada sekitar 16 bangunan peninggalan kolonnial di sana yang masih terawat baik, dengan ruang terbuka hijau yang cukup luas. Revitalisasi bangunan yang ada memang sudah digiatkan beberapa tahun yang lalu, dan sudah kelihatan hasilnya, meski tidak semua bangunan bisa dikunjungi.
Rintik hujan mulai reda, menyisakan tetesan air di dedaunan. Beberapa pengunjung masih terlihat duduk-duduk di deretan teras. Senja mulai jatuh, sebentar lagi akan ditutup. Kucepatkan langkah untuk mengamati beberapa bangunan yang ada di ujung bastion belakang. Sebagian bangunan tertutup rapat, tidak bisa diakses, sebagian dimanfaatkan sebagai kantor oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Tiba-tiba langit kembali gelap, sebagian pengunjung terlihat mulai keluar dari area dalam benteng. Masih kubertahan dengan mengambil beberapa foto lansekap benteng dari atas bastion ujung belakang. Suasana kontras langit gelap sebagai background dengan bangunan-bangunan tua yang terlihat masih kukuh bertahan dari terjangan jaman yang terus bergerak maju tanpa henti, menjadi obyek yang cukup “fotogenik”, meski suasana terlihat mati karena pengunjung mulai berkurang. Gerimis datang lagi, ternyata masih ada sisa-sisa air di angkasa yang masih tertahan untuk turun ke bumi. Bimbang antara bertahan sejenak atau segera keluar benteng, nekat kucoba utuk mengekspore lagi lansekap benteng dari arah bastion depan. Terlambat, air tertumpah makin deras dan ganas.
 Bersama dua rekan akhirnya hanya bisa menepi di kedai kecil di dalam benteng, mengamati derasnya air yang mengguyur bangunan-bangunan tua ini, membawa kabut dan angin yang cukup kencang. Sebagian butiran hujan terbawa angin, sedikit mermbasahi baju kami, meski sudah menepi di dalam kedai. Ternyata hanya kami bertiga yang masih tertahan di dalam benteng, yang lain ternyata sudah menunggu di dalam bis.

Untung saja, kru bis ada yang segera datang menjemput di saat hujan masih enggan berlalu. Meski berpayung cukup lebar, derasnya hujan masih tetap menyisakan air yang cukup membasahi badan kami.  Hujan mulai reda lagi, sesaat kami meninggalkan area parkir Benteng Fort Rotterdam. Pantai Losari ternyata dekat dari sini. Sampai di sana, tumpahan air sudah terhenti lagi, menyisakan genangan air di plaza luas yang membiaskan dan memantulkan tulisan besar Makassar di sudut dermaga. Segera kami berfoto-foto di sini untuk membuktikan kami pernah ke sini J. Agenda hari ini selesai sudah, namun kelabunya langit Makassar belum juga usai. Berharap ada kecerahan esok hari, karena harus segera mengejar penerbangan kembali ke Semarang.
selesai

Senin, 19 Oktober 2015

Sarangan di musim kemarau



Tahun ini kemarau memang terasa panjang, berbeda dari tahun lalu. Berdasarkan prediksi cuaca kemungkinan November baru datang sang Hujan. Suasana kering kerontang, tanaman banyak yang meranggas, sumber-sumber air pun mulai berkurang. Melihat tanaman di depan rumah yang mengering, layu ternyata ikut mempengaruhi mood juga sehingga perlu disiram setiap pagi dan sore hari ketika aku pulang dengan membawa beban kelelahan dari kantor. Melihat tetesan air di pucuk dedaunan dan rumput yang basah setelah terkena guyuran air dengan sendirinya juga ikut mengguyur keringnya hati. Jadi berharap semoga sang hujan segera datang menyapa. Manusia menag tidak pernah bisa hidup tanpa air.
Kondisi seperti ini mengingatkan suasana yang kualami tahun lalu ketika mengunjungi Telaga Sarangan di saat musim kemarau tahun lalu. Ini adalah pengalaman kedua pergi kesana, setelah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Banyak hal yang sudah berubah di sana ternyata. Dulu pertama ke sana kondisi iklim masih cukup dingin, sekarang mulai terasa memanas dan air danau pun terlihat susut. Entahlah mungkin  karena kemarau ekstrim.
Tujuan yang sebenarnya bukan ke Sarangan, namun untuk kondangan di rumah saudara dari isteri, lebih tepatnya saudara sepupu di Magetan untuk menghadiri acara pernikahan. Sekalian di sana mampir ke Sarangan. Dengan diantar saudara yang memang sudah biasa bolak balik ke Sarangan, perjalanan terasa menyenangkan. Rute yang terus naik, dengan pemandangan hijau di kanan dan kiri, berharap pun Sarangan akan demikian (sejuk dan hijau ). Melewati hamparan perkebunan strowberry yang ternyata dibuka untuk umum untuk wisata memetik sendiri buah strowberry, menjadi pilihan untuk didatangi nanti sepulang dari Sarangan.
Sampai di lokasi ternyata ada yang sedikit berbeda dari yang kami bayangkan sebelumnya. Melihat air menyurut dari permukaan telaga Sarangan jadi terasa aneh. deretan speedboat warna warni yang bertengger menunggu para penumpang yang ingin sedikit mencoba debur danau Sarangan. Berjalan menyisir tepian danau yang kotor dan semrawut ( semua moda bisa masuk tanpa pengaturan ), sayangnya pandangan ke arah telaga terhalang orang-orang yang berdiri mematung di tepi pagar pembatas.
Setidaknya masih bisa menikmati sate kelinci yang khas, dan secangkir kopi panas di warung tepi jalan. Memang penjual sate kelinci banyak bertebaran di sepanjang jalur di tepi danau, namun sayang tidak tertata dan teratur, yang makin diperparah dengan kendaraan yang parkir sembarangan, belum lagi keberadaan kuda wisata yang saling berebut jalan dengan pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang. Untung saja lansekap yang menjadi background sang danau cukup mengalihkan perhatian, yang diselingi deretan villa dan penginapan yang kelihatannya semakin banyak. Keindahan lukisan alam dengan dominan hijaunya pepohonan yang membingkai sang telaga setidaknya tidak ikut murung melihat surutnya air telaga.
Kusempatkan juga juga untuk berkeliling danau dengan speed boat sewaan, dan mencoba menaiki kuda wisata meniti jalan sepanjang tepian danau untuk sedikit mengikis rasa kecewa dari kondisi surutnya air. Setidaknya keluarga, terutama anak-anak cukup bergembira dengan pengalaman yang baru ini.
Sepulang dari sana, mampir sejenak ke perkebunan stroberi sesuai rencana awal, berharap ada pengalaman baru, terutama bagi anak-anak yang tidak sabar ingin segera memetik buah stroberi langsung dari pohonnya. Ternyata musim panen sudah lewat, haha, hanya beberapa buah sisa yang masih bertengger di dahannya. Tak apalah, bagi anak-anak sudah cukup senang mengeksporasi tanaman stroberi, mencoba memetik beberapa buah yang masih tersisa, bagi emak-emak lebih memilih untuk narsis mengabadikan momen “seolah-olah” memetik buah stroberi langsung dari pohonnya. 
Cerita ini memang sudah lewat setahun yang lalu, kucoba untuk merekonstruksi kembali dokumentasi yang ada dalam bentuk sketsa dengan sketchbook canson yang memang khusus untuk cat air dan cat air tube Pentel yang dikombinasikan dengan cat air portabel SakuraKoi. Suasana malam yang sepi, cukup pas untuk konsentrasi menuntaskan coretan dan sapuan kuas cat air. Memang harus lebih banyak belajar lagi untuk meningkatkan skill dan kualitas sketsanya, sebisa mungkin nanti untuk mencoba plein air sketching.

Malam semakin larut, suara gerimis sedikit memantul di atap genteng rumah. Kuharap semakin menderas, namun ternyata segera berhenti. Memang harus bersabar menghadapi kemarau,  semoga saja sang hujan mulai turun.

Kamis, 17 September 2015

Sepenggal kisah Menjemput Panglima Besar




(Ket gambar: sketsa cat air penyambutan Panglima Besar Jenderal Soedirman di Yogyakarta, didampingi oleh Syafruddin Prawiranegara dan Letkol Soeharto, di belakang memakai baret adalah Letkol Soeadi, dll.)
Sekarang sedang ramai diputar di bioskop film biopik yang menceritakan perjuangan gerilya Jenderal Soedirman, sebuah perjalanan gerilya panjang selama tujuh bulan melintasi berbagai medan terjal, dalam ancaman serangan dan perburuan belanda. Sebuah perjalanan gerilya yang tidak mudah, mengingat kondisi Panglima Besar yang hanya memiliki satu paru-paru, selepas menjalani operasi. 

Dengan menggunakan tandu yang harus dipanggul para pengawalnya, perjalanan panjang tersebut menjadi sebuah cerita yang heroik, yang terekam dan terdokumentasi dalam berbagai buku sejarah dengan penampilannya yang  legendaris (  sosok kurus berbalut jas dan mantel besar, dengan ikat kepala hitam, lebih kelihatan sebagai sosok spriritualis dibandingkan panglima perang ), dalam berbagai foto, patung, lukisan potret yang terpampang di berbagai instansi dan sekolah.

Kini riwayat utuh perjalanan gerilya Pak Dirman di layar lebar lewat besutan sutradara Viva Westy, bisa disaksikan di bioskop saat ini. Kali ini tidak mereview film tersebut, karena memang belum menyaksikan, sehingga belum  ada yang dapat dikomentari.

Kali ini hanya akan mengulas bagaimana proses penjemputan Pak Dirman untuk mau turun gunung kembali ke ibukota Yoyakarta. Semua berawal dari Perbedaan pandangan antara Panglima Besar Soedirman dengan Dwitunggal Sukarno Hatta dan pemimpin politik lainnya terkait dengan strategi perjuangan menuju Indonesia merdeka 100%. Berbagai perundingan Indonesia-Belanda mulai dari Linggajati, Renville, hingga Roem-Royen pada Mei 1949 mengecewakan kesatuan perjuangan baik TNI maupu kelaskaran. Apalagi Belanda selalu melanggar setiap hasil perundingan sehingga berujung pada Agresi Militer Belanda I (1947) dan II (1948). Apalagi setelah Bung Karno dan Bung Hatta menolak ajakan Pak Dirman untuk memimpin gerilya ke luar kota ketika tanggal 19 Desember 1948 Belanda mengobarkan agresi Militer II dengan menduduki Yogyakarta lewat sebuah serangan besar-besaran. 
Dengan memendam kekecewaan yang besar, Pak Dirman memutuskan untuk memimpin gerilya ke luar kota Yogyakarta, meski hanya dengan separuh paru-paru, sedangkan Bung Karno dan Bung Hatta pada akhirnya tertawan pihak Belanda dan diasingkan ke luar Jawa.
Ada tiga orang yang diutus untuk menjemput beliau, Letkol Suharto, Rosihan Anwar, dan Frans Mendur. Sebagaimana diketahui bahwa setelah Perundingan Roem Royen, Belanda mulai ditarik dari Yogyakarta, digantikan oleh TNI yang kembali ke Yogya dari medan gerilya tujuh bulan sejak jatuhnya Yogyakarta ke tangan Belanda pada 19 Desember 1948. Soekarno Hatta pun sudah kembali dari pengasingannya di Sumatera. Tinggal panglima Besar Soedirman yang masih enggan untuk turun gunung. Banyak ganjalan yang ada terkait hasil perundingan yang sebenarnya kurang disetujui oleh militer. Jargon merdeka 100% dari Sang Panglima besar kelihatannya menjadi penghambat untuk menyetujui hasil perundingan tersebut. Medan gerilya masih menjadi pilihan strategi perjuangan.
 Hal ini yang mengkhawatirkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, karena melihat ada perpecahan di kalangan sipil-militer. Perjuangan masih panjang, moril para pejuang dan seluruh rakyat bisa tergerus demi melihat ketidakselarasan para pemimpinnya.
7 Juli 1949, Rosihan Anwar sebagai reporter saat itu menceritakan memoarnya tentang kisah penjemputan Pak Dirman. Di Malioboro, Rosihan dikenalkan oleh Frans Mendur ( fotografer peristiwa proklamasi, pendiri Ipphos ) kepada Letkol Suharto, komandan Brigade X wilayah Yogyakarta, yang baru saja memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 atas kota Yogyakarta. Mereka menaiki landrover dari Kota menuju wonosari, dari sana mobil ditinggal karena medan yang tidak memungkinkan. Mereka berganti menaiki sepeda melewati medan terjal, melewati Gunung Kendeng yang tandus dan kering, sepi penduduk  hingga berjam-jam. Tidak jelas tempat yang akan dituju, hingga pukul 09.00 malam, sepeda ditinggalkan, berganti dengan jalan kaki, hingga tiba di pinggiran desa. Sampailah mereka sampai tempat yang dituju, desa Sobo. Desa yang merupakan markas terakhir P Dirman dari perjalanan panjang gerilyanya.
Pak Dirman terlihat kurus kering, dengan ikat kepala hitam dan sweeter menyambut kedatangan mereka di temapt penginapannya, rumah Pak Lurah.Suharto menyampaikan maksud kedatangannya untuk membujuk Pak Dirman kembali ke Yogyakarta, ibukota Ri saat itu, sedang Rosihan Anwar melakukan tugas jurnalistiknya meliput dan mewawancarai P Dirman. Pada akhirnya Pak Dirman bersedia untuk kembali ke Yogyakarta, sebagai simbol bersatunya pemimpin sipil dan militer. Perbedaan pendapat dan pandangan dikesampingkan, demi tujuan yang lebih besar.
Rosihan Anwar memutuskan untuk kembali lebih dahulu, tidak ikut mengiringi Pak Dirman yang harus tetap ditandu pulang kembali ke Yogya karena hasil peliputan harus segera dikirim lewat perantaraan pesawat UNCI ke Jakarta. Sedang Frans Mendur mengabadikan momen perjalanan kembali Pak Dirman ke Yogyakarta lewat foto maupun pita seluloid, sehingga menjadi salah satu seri dokumentasi masa revolusi yang paling populer. Mulai dari saat mereka meninggalkan desa Sobo, perjalanan melintasi desa dan hutan untuk menuju ke ibukota Yogyakarta, hingga foto-foto penyambutan P Dirman di Gedung Agung Yogyakarta dan defile di Alun-alun Utara. Sepanjang perjalanan rakyat di setiap desa dan kota ayang dilalui rombongan menyambut dan mengelu-elukan sosok P Dirman yang tetap berada dalam tandu yang diangkut bergantian.

8 Juli 1949, Pak Dirman didampingi para perwira dan anak buahnya memasuki kota Yogyakarta. Momen mengharukan terjadi ketika Pak Dirman berjumpa kembali dengan Bung Karno dan Bung Hatta, setelah tujuh bulan berpisah. Foto Pak Dirman yang berpelukan dengan Bung Karno dan Bung Hatta sebenarnya momen ulangan, karena Frans Mendur belum sempat memfoto ketika kedua pemimpin simbol sipil dan militer tersebut bersua dan berpelukan, sehingga harus diulang. Setelah bertemu Presiden dan Wakil Presiden, Pak Dirman segera menuju alun-alun utara untuk memeriksa defile tentara Republik, baik dari TNI maupun kelaskaran. 

Selesai sampai di sini. Gambar di atas sekedar iseng saja membuat sketsa cat air tentang momen penyambutan Jenderal Soedirman setelah kembali dari gerilya, berdasarkan foto dokumentasi yang dibuat oleh Frans Mendur, pendiri Ipphos.

Rabu, 01 April 2015

Orchard Road di awal November




Sore itu, matahari tidak terlalu menyengat ketika kami turun dari bis, semburat jingganya menyeruak dari balik bangunan lama yang masih cukup terawat, di mana kami dengan sedikit tergesa melewatinya. Setelah mampir sejenak shalat di masjid yang cukup besar  namun terletak cukup tersembunyi, kami segera menyusuri salah satu jalan yang paling terkenal di Singapura ini. Tujuan kami sebenarnya memang bukan untuk shopping windows, hanya sekedar mencoba mencari pengalaman menyusuri jalur pedestrian yang berkualitas (sesuatu hal  yang mahal di Indonesia, di mana fasilitas bagi para pejalan kaki lebih sering terabaikan). Singapura sebagai negara kota yang sangat kecil ini memang terkenal sangat concern dan perhatian akan keberadaan fasilitas publik yang layak dan manusiawi, salah satunya adalah fasilitas bagi para pejalan kaki/ pedestrian.
Menyusuri jalanan yang khusus diperuntukkan bagi para pedestrian memberi pengalaman dan pelajaran akan pentingnya perhatian terhadap kebutuhan para pejalan kaki. Di sebuah negeri dimana area pejalan kaki seringkali terkalahkan dengan moda transportasi lain ( remember: pedestrian pun merupakan salah satu moda transportasi ).
Orchard Road road merupakan salah satu ruas jalan satu arah sepanjang 2,2 km pada mulanya merupakan jalan sederhana di tepian area perkebunan dan pertemuan, yang kemudian berkembang menjadi salah satu pusat perbelanjaan dan hiburan. Kawasan perbelanjaan ini menyediakan pilihan retail, kuliner, dan hiburan seluas hampir 800.000 meter persegi untuk memuaskan segala selera dan kalangan - dari merek mewah hingga mode populer, dari restoran eksklusif hingga pujasera makanan cepat-saji.
Suasana lalu lalang para pelancong yang menenteng barang belanjaan aneka rupa tumpah ruah di sepanjang jalur pedestrian yang cukup nyaman dan lebar. Anehnya, jalur pejalan kaki ternyata terlihat lebih ramai dan dinamis dibandingkan jalur kendaraan di tengah. Tidak terlihat sama sekali aura lelah dan capek meski harus banyak berjalan kaki sepanjang jalur ini (jika ingin mengeksplore semua fasilitas perbelanjaan dan hiburan yang beragam ). Pun terlihat banyak orang Indonesia (sangat kelihatan sekali hehe ) dengan ketergesaannya dan kerepotannya menenteng segala jenis tas hasil dari penjelajahannya di berbagai fasilitas belanja.
 Meski baru awal November, terlihat  suasana dan aura natal dari berbagai maskot dan simbol-simbol seperti Sisterklas, Rusa salju, dsb. Bisa jadi ini hanya strategi kapitalistik dari para pemodal untuk membidik tumpukan fulus dari para pelancong sebanyak mungkin, bukan lagi ekspresi religiusitas. Deretan lampion merah yang bertengger di banyak pohon besar sepanjang orchard road memberi nuansa lain dari modernitas bangunan  yang  berlomba-lomba tampil menonjolkan diri di sepanjang Orchard Road. Arsitektur bangunan yang terlihat futuristik dan menggoda siapapun untuk menyinggahinya, baik yang hanya sekedar melihat-lihat, atau sudah menyiapkan dompet untuk dikuras habis.
Beberapa artis jalanan tampil di beberapa sudut jalan, dengan segala aksi kreatifnya memberi oase tersendiri di tengah suasana ketergesaan yang diperlihatkan dari para pemburu barang belanjaan bermerk. Beberapa konser kecil muncul memberi sekedar hiburan bagi para pejalan kaki yang mungkin lebih terkonsentrasi mencari hiburan dari pernik-pernik belanjaan bermerk. Di sepanjang jalan yang kami susuri ini, kami hanya sekedar mengamati suasana sepanjang jalan, perilaku para pejalan kaki dengan segala keanehannya, serta bagaimana cermatnya Pemerintah singapura memfasilitasi mereka dengan berbagai sarana yang memanjakan orang yang mau berjalan kaki, mulai dari sarana rest area, sarana penyeberangan ( ada jalur underground maupun traffic light khusus untuk pedestrian ), serta interconnecting dengan berbagai moda transportasi.
 Kami jadi iri sendiri, kapan fasilitas seperti ini diperhatikan pemerintah kota di Indonesia. Kepedulian dari pemangku wilayah dan perencana perkotaan akan keberadaan sarana prasarana bagi pejalan kaki terlihat masih memprihatinkan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sarana pejalan kaki menjadi isu yang terasa dianaktirikan dibandingkan sarana jalan yang diperuntukkan bagi moda kendaraan. Padahal pedestrian pun merupakan salah satu moda yang mestinya diakui dan mendapat prioritas oleh pemerintah. Tidak heran di beberapa kota muncul komunitas yang peduli akan sarana yang layak bagi pedestrian, salah satunya adalah komunitas koalisi Pejalan Kaki, yang sering mengadvokasi dan memberi pencerahan ke masyarakat dan Pemerintah Kota setempat akan pentingnya sarana Pedestrian yang layak.
Tidak terasa sudah berapa km kami menyusuri jalan ini, mencoba kami menyeberang lewat underpass, memberi kami pengalaman berbeda sebagai pejalan kaki. Kembali ke jalur di seberang, agak tergesa kami harus kembali lagi ke “basecamp” awal kami turun dari bis, sebelum semuanya menyebar menyusur Orchard Road. Hampir saja kami lupa waktu, padahal tidak satupun dari kami mencoba untuk menuruti godaan dari para pemodal yang menawarkan aneka barang yang terdisplay secara megah dan mewah di banyak pusat perbelanjaan. Entah apa jadinya jika kami masuk ke berbagai mall, mungkin benar-benar akan lupa waktu.
 Perlahan ION Orchard  yang terkenal dengan tampilan futuristiknya makin menjauh dari pandangan, seiring dengan makin teduhnya cahaya mentari yang perlahan bergeser turun. Makin sore, jalan justru makin ramai oleh lautan manusia. Pendar lampu dan cahaya artifisial perlahan mulai mengganti peran mentari, menyinari para pelancong yang ingin menikmati suasana sepanjang Orchar Road, maupun yang tergoda untuk menghabiskan uang akan barang-barang mewah, benar-benar butuh atau hanya sekedar memuaskan nafsu belanja. Semua terserah anda.
Baru terasa pegal-pegal kaki kami ketika sampai ke tempat awal berkumpul, entah, berapa kilo kami tadi berjalan. Tidak ada satupun barang yang kami tenteng di tangan, kami hanya menenteng dalam benak kami bagaimana pentingnya fasilitas pedestrian yang manusiawi dan layak, yang mestinya menjadi perhatian dan PR Pemerintah Kota dan kebutuhan masyarakat warga kota. Padahal Sebuah kota yang manusiawi, yang mendorong warga masyarakatnya untuk mau berjalan karena fasilitas pedestrian yang nyaman, sekaligus menjadi habit dan kebiasaan.