Setiap menjelang peringatan detik-detik Proklamasi, dalam
memori kita selalu menyeruak kembali sosok-sosok yang berperan penting dalam sejarah Kemerdekaan negara kita, terutama sekali Soekarno-Hatta. Dua
orang dwitunggal yang menjadi ikon utama, dimana setiap tanggal 17 Agustus hadir kembali sosoknya dalam
perulangan roda waktu, baik di media kaca, film, maupun ulasan media. Peran sentral mereka karena mereka memang dipilih sebagai
proklamator Kemerdekaan republik ini
oleh para pemuda, yang menjadi titik awal perjalanan Republik Indonesia dalam menapaki takdir sejarahnya hingga sampai rentang 71
tahun hingga saat ini.
Meski perlu diingat
juga peran para pemuda progressif yang sejak luluh lantaknya Hiroshima
dan Nagasaki oleh bom atom Amerika mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk
sesegera mungkin untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, yang ditanggapi dengan keragu-raguan oleh mereka berdua. Hingga terjadilah
peristiwa penculikan Rengasdengklok sebagai prekuel
yang melatarbelakangi rangkaian peristiwa proses perumusan naskah
proklamasi sebelum sampai puncaknya pada tanggal 17 Agustus 1945. Peran para pemuda ini seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Latif Hendraningrat, dll seolah tenggelam oleh kebesaran sosok sang dwitunggal.
Sebelum kemerdekaan, ada sosok Tan Malaka yang sudah lama merumuskan konsepsi tentang
Indonesia merdeka, jauh sebelum kedatangan Jepang. Namun sosok-sosok mereka seperti
terlupakan dalam panggung sejarah, seolah tiada peran berarti dalam masa awal
kelahiran Republik Indonesia.
Narasi sejarah memang selalu begitu, harus ada sosok
sentral yang dihadirkan di atas panggung
sebagai titik pusaran peran utama dalam hiruk pikuk rangkaian peristiwa. Ada proses interpretasi ulang setiap realita masa lampau dalam subyektivitas penulisnya,
terlepas ada kesengajaan atau tidak. Tidak semua bisa hadir dalam panggung yang
sempit, harus ada yang menonjol sebagai pemeran utama, meskipun mereka yang
harus tenggelam di tepi panggung tetap
punya peran yang tidak kalah besar. Sosok yang terlupakan dari pentas sejarah bisa jadi karena mereka orang biasa saja tanpa publikasi dan sorot
kamera, namun tetap punya andil sekecil dan sesederhana apapun peran mereka. Namun bisa
juga karena tidak dikehendaki untuk hadir, seberapa pun besar peran mereka, oleh tangan-tangan pemegang kendali kekuasaan, ketika kekuasaan juga menjadi penentu arus utama jalannya sejarah.
Tan Malaka bisa
menjadi contoh kecil bapak Republik yang tersingkir dari pertarungan politik
ditengah ancaman agresi Belanda yang
hadir kembali untuk mematahkan Republik yang masih muda ini. Tragisnya dia
sendiri dieksekusi oleh anak bangsa dalam kekisruhan Agresi Belanda II tahun
1949, hingga makamnya pun hingga kini tidak diketahui. Bung Tomo pun bisa jadi
salah satu sosok pahlawan yang terlupakan karena konflik dan sikap kritisnya
pada rejim Sukarno maupun masa Suharto. Gelar pahlawan Nasional pun baru
disematkan belakangan, berpuluh tahun sejak beliau wafat di tanah suci Mekah
tahun 1981.
Akan makin banyak deretan para pahlawan dan pejuang yang
terlupakan dari publikasi dan memori kolektif kita sebagai anak bangsa dalam
setiap kita memperingati berbagai peristiwa penting, terutama Hari Ulang Tahun Kemerdekaan
Republik Indonesia. Menjelang peringatan detik-detik proklamasi ini, mari kita
kenang kembali sosok-sosok yang terlupakan, dimana peran besar dan pengorbanan mereka,
lewat tetesan keringat, darah, dan air mata, Republik ini masih tegak berdiri,
meski dengan berbagai persoalan yang tiada henti mendera hingga saat ini.
Mereka
yang terlupakan, yang tidak mencari panggung untuk kebesaran namanya, yang
entah dimana pusaranya, disaat rekan-rekan mereka diziarahi setiap tahun dalam
sebuah taman bernama Taman Makam Pahlawan. Mereka tetaplah pahlawan dengan
segala keharuman peran mereka yang tidak
terabadikan dalam teks-teks narasi resmi sejarah, karena mereka memang tidak
mencari pamrih dalam panggung kehidupan yang fana.
Sungguh ironis dengan perilaku para pahlawan kesiangan di
jaman ini, yang sibuk mencari panggung untuk menampilkan kepalsuan mereka,
dalam polesan media atas nama sebuah pencitraan. Kita semua bertepuk tangan
riuh, juga dengan segala kepalsuan di hati, sadar maupun tidak sadar. Indonesiaku
hari ini, butuh sosok pahlawan yang sebenarnya, meski pun mungkin juga akan
terlupakan.
Jadi teringat lirik
lagu “Yang terlupakan” dari Iwan Flas:
denting piano
kala -jemari menari
nada merambat pelan
di kesunyian malam
saat datang rintik hujan
bersama setiap bayang
yang pernah terlupakan.......
kala -jemari menari
nada merambat pelan
di kesunyian malam
saat datang rintik hujan
bersama setiap bayang
yang pernah terlupakan.......