Pemilu 2014 menjadi pemilu paling brutal dan kasar, dari
rangkaian panjang sejarah Pemilihan Umum di Indonesia. Pragmatisme dan
oportunisme ditunjukkan secara telanjang dan terang-teranngan di atas panggung
megah demokrasi. Money politic dan kecurangan sistematis menjadi sebuah
perayaan khas lima tahunan. Sebuah ironi demokrasi, yang ditunjukkan para
caleg, tim suksesnya, partai induknya,
serta masyarakat banyak.
Ideologi masing-masing partai sudah menjadi tidak jelas lagi. Ah, aku jadi teringat bagaimana para pendahulu saling berdebat panas mempertahankan dan memperjuangkan ideologi masing-masing dalam balutan kesederhaan hidup, pada era awal berakhirnya perang kemerdekaan. Rakyat berbondong-bondong datang ke lapangan bukan karena iming-iming receh yang tidak seberapa, tapi karena merindu orasi para tokoh ideologisnya, karena asa akan masa depan sebuah bangsa yang baru berdiri.
Ali Sastroamijoyo, PNI |
M Natsir, Masyumi |
Syahrir, PSI |
Masihkah mempercayai demokrasi dengan membabi buta?