Sabtu, 24 Mei 2014

Memori 1955



Pemilu 2014 menjadi pemilu paling brutal dan kasar, dari rangkaian panjang sejarah Pemilihan Umum di Indonesia. Pragmatisme dan oportunisme ditunjukkan secara telanjang dan terang-teranngan di atas panggung megah demokrasi. Money politic dan kecurangan sistematis menjadi sebuah perayaan khas lima tahunan. Sebuah ironi demokrasi, yang ditunjukkan para caleg, tim suksesnya, partai induknya,  serta masyarakat banyak. 
Ideologi masing-masing partai sudah menjadi tidak jelas lagi. Ah, aku jadi teringat bagaimana para pendahulu saling berdebat panas mempertahankan dan memperjuangkan ideologi masing-masing dalam balutan kesederhaan hidup, pada era awal berakhirnya perang kemerdekaan. Rakyat berbondong-bondong datang ke lapangan bukan karena iming-iming receh yang tidak seberapa, tapi karena merindu orasi para tokoh ideologisnya, karena asa akan masa depan sebuah bangsa yang baru berdiri.

Ali Sastroamijoyo, PNI

M Natsir, Masyumi


Syahrir, PSI




















Aidit, PKI


Bagaimana dengan kita sekarang? 
Masihkah mempercayai demokrasi dengan membabi buta?

Jumat, 23 Mei 2014

Rumah dan hidup.....





Hari minggu biasanya kumulai dengan mencari koran edisi minggu, terutama Kompas. Tidak ada alasan yang istimewa sebenarnya, kecuali adanya rubrik rumah beserta penghuninya, terutama memori yang mengendap dan mewujud dari perjalanan hidup seseorang beserta keluarganya. Sebuah rumah tentulah menjadi impian semua orang. Ada yang bisa mewujudkannya, walaupun banyak juga yang masih menjadi impian semata.
Sebuah rumah tentulah telah menjadi bagian dari pencarian dan obsesi manusia yang hidup di muka bumi. Semudah itukah membuat rumah? Haha, trernyata lebih banyak yang berdarah-darah untuk mewujudkannya, Haha. Sampai  kini pun belum  selesai,  meski telah lewat dua tahun kutempati. Selesai? Kapankah sebuah rumah dikatakan selesai? Mungkin tidak akan pernah, karena rumah pun bagian dari daya hidup yang terus tumbuh, bersama tumbuhnya hidup dan jejak memori penghuninya.
Orang barat membedakan istilah house dan home, karena memang berbeda. House hanyalah fisik dari bangunan yang berdiri menjulang kaku, tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada kehidupan di dalamnya. Maka house menyempurna menjadi home jika daya hidup tumbuh bersama menuanya sebuah rumah. Apakah setiap rumah yang berpenghuni sudah berarti menjadi home? Tidak mudah untuk dijawab, tergantung jiwa-jiwa yang ada di dalamnya hidup dan menghidupi detik demi detik, hari demi hari, dan sepanjang keberlangsungan ruang dan waktu yang menjadi saksi sebuah rumah.
Maka sebuah rumah yang homy tidak bisa ditentukan pada rumah yang megah dan luas bagai istana, tetapi bisa saja muncul pada rumah kecil mungil sederhana. Mungkin inilah seperti yang didambakan dalam lengkingan suara ahmad Albar/ Godbless atau duet Ita Purnamasari dan Yankson, sebuah rumah yang mendamaikan dan menenangkan penghuninya. Tidak perlu besar, tidak perlu megah. Kecil, sederhan, selama itu berjiwa. Sudahkah kita mendapatkannya?

Kamis, 01 Mei 2014

Pagi, di sebuah teras

pagi. sisa hujan semalam masih terlihat membasahi rumput teras, memantul dan membias dari dedaunan yang bangkit menyambut pagi. Semburat jingga Matahari mulai menyembul dari balik awan, menyibak kabut, memberi kehangatan pada dinginnya pagi.
Aroma wangi secangkir kopi Lampung memberi spirit lebih, awal untuk memulai aktivitas. Sebuah pagi yang sempurna, terucap syukur pada Sang Maha Kuasa.
Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?