Jumat, 11 April 2014

Ironi sebuah negeri Boneka Dakocan



Pemilu legislatif telah lewat, sebentar lagi disusul Pemilihan Presiden. Tidak perlu disesali atas setiap kekalahan, tidak juga kesombongan atas setiap kemenangan. Menang dan kalah adalah fenomena pergiliran roda hidup, datang dan pergi.
Hari-hari ke depan akan kita lihat kalkulasi dan manuver para pemenang dan pecundang di berbagai media. Saling berhitung untuk menentukan siapa berkawan dengan siapa, yang biasa kita sebut “koalisi”, untuk meraih ilusi menjadi sosok presiden, dengan “P” besar, tentunya bukan Presiden partai, presiden Inter Milan, maupun presiden taksi. Kawan bisa menjadi lawan, lawan pun bisa seketika menjadi kawan hanya dalam hitungan hari, karena dalam politik semua serba mungkin.
Hari-hari ke depan publik akan lebih terpaku sosok-sosok yang akan dianggap sebagai  “kandidat” calon pemimpin bangsa, dibandingkan acara joget masal bin konyol (baca: YKS) maupun aneka idol yang tak lebih pertunjukan ketidakkreatifan anak bangsa. Para politisi akan mengambil alih panggung sinetron berseri yang tiada habis serialnya, dengan berbagai kemungkinan ending yang susah ditebak. Tokoh antagonis dan protagonis akan berbagi dan bertukar peran yang makin membingungkan penonton, lebih membingungkan dari pertunjukan wayang yang sudah jelas pakem dan alur ceritanya. Wayang??
Generasi galau sekarang mungkin sudah tidak lagi mengenal cerita wayang, tetapi wayang-wayang berujud manusia telah muncul di hadapan kita, tanpa kita sadari siapa dalangnya. Bisa jadi bukan hanya wayang, berbagai boneka dan zombie (bisa kita sebut dakocan, pinokio, teddy bear,dll) makin menyemarakkan panggung. Kitapun mungkin tidak sadar mereka boneka, toh wujudnya sama dengan kita, berkulit dan berdaging manusia. Tapi nurani dan hati mereka tidak lebih dari boneka yang tunduk dan patuh pada gerakan tangan sang invicible hand.
Sayangnya para boneka ini sudah kadung digandrungi oleh penonton yang malas berpikir, karena mengira sang boneka lucu ini adalah sosok messiah/ ratu adil, akibat tercuci otak oleh provokasi  media dan lembaga survei bayaran. Sang boneka ini mungkin tidak selucu teddy bear yang dipeluk konglomerat sekaligus politisi saat berlibur di Maladewa yang menghebohkan itu, tetapi menggantungkan harapan pada oase fatamorgana menjadi fakta yang lebih lucu lagi. Jangan-jangan kita semua juga telah menjadi boneka yang lucu, yang menjadi bagian dari kelucuan-kelucuan di atas panggung. Mungkin inilah ironi sebuah negeri boneka, negeri dakocan, yang membiarkan kekayaan alamnya selama puluhan tahun menjadi jarahan para penjajah, aset-aset penting negara diobral dengan harga murah, kerusakan hutan, korupsi,dll. Bahkan memilih pemimpin pun seolah harus mendapat restu negara adidaya.
Sebuah negeri dakocan, yang tentu berbeda dengan dakocannya Enno Lerian, kelucuan-kelucuan yang sungguh tidak masuk akal, akankah terulang lagi? Sudah cukup kita punya pemimpin yang tidak lebih dari boneka kepentingan neolib, yang merasa senang dengan saham 1% dari freeport, sementara dibalik gunung emas yang dijarah, ribuan manusia yang masih berkoteka terjebak dalam perang suku dan keterbelakangan.
Apa yang bisa kita harap dari (calon) pemimpin boneka yang tidak jelas visi dan misinya, yang hanya bisa berkata “ aku ora popo”. Semua kembali kepada kita, jangan mau menjadi boneka.