Pemilu legislatif telah lewat, sebentar lagi disusul
Pemilihan Presiden. Tidak perlu disesali atas setiap kekalahan, tidak juga
kesombongan atas setiap kemenangan. Menang dan kalah adalah fenomena pergiliran
roda hidup, datang dan pergi.
Hari-hari ke depan akan kita lihat kalkulasi dan manuver
para pemenang dan pecundang di berbagai media. Saling berhitung untuk
menentukan siapa berkawan dengan siapa, yang biasa kita sebut “koalisi”, untuk
meraih ilusi menjadi sosok presiden, dengan “P” besar, tentunya bukan Presiden
partai, presiden Inter Milan, maupun presiden taksi. Kawan bisa menjadi lawan,
lawan pun bisa seketika menjadi kawan hanya dalam hitungan hari, karena dalam
politik semua serba mungkin.
Hari-hari ke depan publik akan lebih terpaku sosok-sosok
yang akan dianggap sebagai “kandidat”
calon pemimpin bangsa, dibandingkan acara joget masal bin konyol (baca: YKS)
maupun aneka idol yang tak lebih pertunjukan ketidakkreatifan anak bangsa. Para
politisi akan mengambil alih panggung sinetron berseri yang tiada habis
serialnya, dengan berbagai kemungkinan ending yang susah ditebak. Tokoh
antagonis dan protagonis akan berbagi dan bertukar peran yang makin
membingungkan penonton, lebih membingungkan dari pertunjukan wayang yang sudah
jelas pakem dan alur ceritanya. Wayang??
Generasi galau sekarang mungkin sudah tidak lagi mengenal
cerita wayang, tetapi wayang-wayang berujud manusia telah muncul di hadapan
kita, tanpa kita sadari siapa dalangnya. Bisa jadi bukan hanya wayang, berbagai
boneka dan zombie (bisa kita sebut dakocan, pinokio, teddy bear,dll) makin
menyemarakkan panggung. Kitapun mungkin tidak sadar mereka boneka, toh wujudnya
sama dengan kita, berkulit dan berdaging manusia. Tapi nurani dan hati mereka
tidak lebih dari boneka yang tunduk dan patuh pada gerakan tangan sang
invicible hand.
Sayangnya para boneka ini sudah kadung digandrungi oleh
penonton yang malas berpikir, karena mengira sang boneka lucu ini adalah sosok
messiah/ ratu adil, akibat tercuci otak oleh provokasi media dan lembaga survei bayaran. Sang boneka
ini mungkin tidak selucu teddy bear yang dipeluk konglomerat sekaligus politisi
saat berlibur di Maladewa yang menghebohkan itu, tetapi menggantungkan harapan
pada oase fatamorgana menjadi fakta yang lebih lucu lagi. Jangan-jangan kita
semua juga telah menjadi boneka yang lucu, yang menjadi bagian dari
kelucuan-kelucuan di atas panggung. Mungkin inilah ironi sebuah negeri boneka,
negeri dakocan, yang membiarkan kekayaan alamnya selama puluhan tahun menjadi
jarahan para penjajah, aset-aset penting negara diobral dengan harga murah,
kerusakan hutan, korupsi,dll. Bahkan memilih pemimpin pun seolah harus mendapat
restu negara adidaya.
Sebuah negeri dakocan, yang tentu berbeda dengan dakocannya
Enno Lerian, kelucuan-kelucuan yang sungguh tidak masuk akal, akankah terulang
lagi? Sudah cukup kita punya pemimpin yang tidak lebih dari boneka kepentingan
neolib, yang merasa senang dengan saham 1% dari freeport, sementara dibalik
gunung emas yang dijarah, ribuan manusia yang masih berkoteka terjebak dalam
perang suku dan keterbelakangan.
Apa yang bisa kita harap dari (calon) pemimpin boneka yang
tidak jelas visi dan misinya, yang hanya bisa berkata “ aku ora popo”. Semua
kembali kepada kita, jangan mau menjadi boneka.