Senin, 22 Desember 2014

The Matrix




Dini hari menjelang fajar.
Suara bimbo sayup-sayup mengalun dari speaker lenovoku. Desis angin kemarau memcumbu pucuk-pucuk dedaunan melengkapi suara latar di tengah kesenyapan para penghuni kolong langit yang masih terlelap dalam tidurnya. Alhmadulillah, masih diberi kesempatan untuk sejenak bersujud di sepertiga malam terakhir, sebuah kesempatan yang amat jarang bisa kulakukan secara konsisten. Masih teringat akan Ramadhan yang baru beberapa hari yang lalu terlewat, malam-malam yang selalu terhiasi oleh tilawah, shalat malam, dengan semangat ibadah yang luar biasa. Entah kenapa, pasca lebaran semangat itu menyusut. Sindrom lebaran? Haha. Mestinya tidak, seharusnya konsistensi ini harus tetap terjaga, meskipun tidak sebaik hari-hari Ramadhan.
Sajadah panjang Bimbo masih lirih terdengar, menyibak kepekaan nurani hidup manusia. Memang hidup manusia tidak selalu linear on the track. Pergulatan hidup selalu saja menyisakan letupan penyimpangan dari bisikan nurani terdalam. Kefanaan hidup seolah hilang dari relung kesadaran umat manusia, menjadi obsesi  konyol akan kekekalan dunia. Sungguh pusaran hidup yang melelahkan merancukan antara “the real” and “the dream”. Mana realitas yang nyata dan mana yang hanya sekedar mimpi? Realkah hidup ini, atau hanya sekedar mimpi?
Teringat diriku akan trilogi film the Matrix beberapa tahun lalu. Apa arti the Matrix? Mungkin tidak banyak yang tahu. Sebagian besar penonton mungkin hanya menangkap keindahan koreografi adegan laga yang tersaji ala John Woo, tanpa memahami apa sebenarnya makna dan logika ceritanya. Film yang dibintangi Keanu Reave memang menjadi fenomena tersendiri dimana muatan filsafatnya  tidak mudah dipahami banyak orang . Ide yang diangkat dalam film ini tentang dunia simulasi dan simulakrum. Bahwa yang kita lihat dan anggap sebagai kenyataan dalam kehidupan sebenarnya adalah simulasi. Dunia ini adalah penjara, dunia yang dihiasi impian, hasrat, obsesi kita pada kebendaan yang akhirnya menutupi kita dari kebenaran. Mungkin secara lebih detail bisa dibaca dalam buku Matrix warrior: Being The One karya Jake Horsley yang membahas dari kacamata filsafat film trilogi The matrix.
Tentang realias manusia yang hidup dalam dunia the matrix yang diciptakan oleh mesin. Ironi, mesin yang diciptakan manusia, pada akhirnya menguasai dan memperbudak manusia. Ditanamkan chip dalam tubuh setiap manusia yang sudah terkungkung dalam the matrix untuk menciptakan realitas palsu yang diyakini ssebagai the real. Ribuan atau jutaan (mungkin milyaran ) manusia yang terbelenggu bagai kepompong untuk dihisap mesin, tidak sadar dengan realitas yang sebenarnya. Realitas palsu yang terbenam dalam memori mereka membawa mereka dalam dunia mimpi yang diyakini sebagai realitas yang sebenarnya, hingga akhirnya datang sosok merphous yang membangunkan mereka dari mimpi yang diciptakan oleh the machine, untuk bangkit melawan.
Bukankah sekarang sama?kita diperbudak oleh mesin, benda-benda artifisial, rutinitas, informasi asimetris dari berbagai media, yang membutakan diri kita akan hal-hal yang penting dan tidak penting, asli maupun palsu, benar dan tidak benar. Kita sekarang hidup dalam hingar bingar “realita” yang tidak bisa kita mengerti asli ataukah palsu. Ibarat mimpi yang menghampiri kita dalam setiap lelapnya tidur kita, kita tidak pernah “sadar” bahwa kita sedang bermimpi. Kesadaran bahwa mimpi adalah “mimpi” muncul setelah kesadaran datang mengganti lelapnya tidur. Atau bisa jadi kita sekarang sedang tertidur, dimana realita yang kita hadapi setiap hari, masa lalu yang kita sesali, maupun masa depan yang kita cemaskan, ternyata tak lebih dari sebuah mimpi. Mimpi yang menenggelamkan kita dalam realitas palsu.
Malam hampir berakhir, sayup-sayup suara murattal mengalun dari sebuah masjid. Sebentar lagi sang fajar datang mengganti sang malam yang harus turun dari singgasananya. Fana. Tiada yang abadi, ketika semua harus menunggu dalam pergiliran eksistensi dan realitas. Bukankah ini relaitas mimpi?

Minggu, 19 Oktober 2014

Suatu siang di Gallery Kota lama



Bukan kunjungan yang terencana, ketika aku sampai di sini. Bahkan keberadaan gedung inipun baru baru kutahu. Sebuah gallery di kota tua, yang menjadi mula perkembangan sebuah kota. Namun sayang, keberadaan yang murung dan suram, karena intrusi air laut yang pelan-pelan merusak dan menista kawasan ini.
Siang itu panas terik, ketika ku sampai di sana. Sepi. Lengang. Bangunan lama yang cukup terawat, kontras dengan lingkungan sekitarnya yang memprihatinkan. Sama-sama menua termakan jaman, namun tak tersentuh tangan-tangan kreatif yang siap merawat dan memanfaatkan. Masuk ke ruang utama kelengangan makin terasa. Kosong. Tidak ada apa-apa di sana kecuali deretan foto-foto kuno yang terpampang di dinding, yang kemungkinan sebentar lagi akan dilepas dari tempatnya bertahta. Kunjungan yang nyaris terlambat.


Ternyata beberapa hari yang lalu memang terpakai untuk event pameran fotografi pada era revolusi fisik 1945-1949, dengan mengambil sumber dari IPPHOS ( Indonesian Press Photo Service ), sebuah kantor berita fotografi legendaris yang mendokumentasi sejarah penting perjalanan bangsa Indonesia, terutama pada masa-masa Perang kemerdekaan. Ingat IPPHOS berarti tak lepas dari Mendur bersaudara –Frans dan Alex-, wartawan dan fotografer pada era awal kemerdekaan. IPPHOS mendokumentasikan masa revolusi kemerdekaan 1945-1949, dimana karya mereka menjadi salah satu bukti sejarah yang penting dan banyak menghiasi buku-buku sejarah kemerdekaan bangsa. Butuh perjuangan yang tidak mudah untuk merekam hingga mencetaknya, dalam situasi perang dan kondisi yang serba terbatas. Foto-foto paling penting dalam awal perjalanan bangsa, yaitu dokumentasi proklamasi 17 agustus 1945 merupakan salah satu karya besar Frans Mendur.
Kucoba melangkah pelan menyusuri dinding-dinding sunyi yang masih menyisakan beberapa foto yang belum sempat dibereskan, sebagian mungkin sudah dilepas dan dibereskan. Foto-foto hitam putih dengan keterangan seadanya di bagian bawah, merekam momen-momen penting maupun kehidupan biasa yang terekam lewat kamera kuno masa itu. Mulai dari tokoh-tokoh besar bangsa hingga rakyat biasa, semua terekam dan terdokumentasi dengan baik. Sayang hanya sedikit foto yang bisa kunikmati di sini, seandainya sejak kemarin ke sini mungkin masih bisa melihat lebih banyak lagi bukti-bukti kegigihan seorang Frans Mendur. Namun setidaknya foto yang tersisa cukup untuk sekedar membekukan waktu 60 tahun yang lalu, yang hadir kembali lewat peristiwa penting dan biasa.
Kulihat para founding father duduk berdiskusi, suasana perundingan dengan belanda, suasana peperangan di garis depan, maupun kehidupan rakyat jelata di tengah keruwetan dan kesemrawutan hidup. Penderitaan akibat perang dan sisa-sisa penjajahan, namun tak luput juga sedikit kegembiraan yang tetap ada dan terlihat, yang dengan cerdiknya ikut terekam. Seolah ingin membuktikan bahwa kegembiraan dan kegairahan tetap ada dalam suasana chaos sekalipun. Melihat deretan foto-foto tersebut, kubayangkan bagaimana Mendur bersaudara harus berjibaku di tengah desingan peluru, melintas berbagai kota mengikuti perjalanan Bung Karno, Bung Hatta, Pak Dirman, hanya untuk sekedar mengabadikan segala peristiwa yang kelak akan menjadi kenangan dan bukti sejarah. Sebuah kegigihan yang luar biasa.
Suara langkah kaki yang lain mulai terdengar memecah kesunyian dan kebengonganku. Sebagian memotret ruangan yang dan sesekali melongok foto-foto yang tetap membisu, terpaku di dinding. Kelelahan berdiri, sejenak kududuk di bangku di sudut ruang. Kusapu pandangan ke seluruh ruangan. Masih terasa kosong, sunyi, suara langkah kaki-kaki tadi mulai menghilang. Terpaku sendiri di sini. Foto-foto masih ada, masih bercerita dalam kebisuannya, apa yang terjadi puluhan tahun yang lalu, menjadi dan menjaga memori, yang mungkin sudah hilang dari memori di benak manusia.
Sebentar lagi foto-foto itu pasti diturunkan, luruh, bersama ketidakpedulian manusia kota ini dan bangsa ini akan cerita masa lalunya. Ternyata orang lebih suka mengejar imajinasi dan mimpi absurd akan modernitas yang terlihat dari ramainya mall-mall, konser musik. Galeri dan museum hanya menjadi seonggok gedung pelengkap kota yang (mungkin) sudah tidak dianggap dan diharap kehadirannya. Kembali kuteringat nasib para pendiri IPPHOS, hidup mereka pun meredup semenjak peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru. Rejim yang baru seakan melupakan jasa Frans Mendur dkk hanya karena kedekatan mereka dengan Bung Karno.
Kumelangkah keluar. Panas matahari ternyata masih terik.

Minggu, 12 Oktober 2014

Hujan di Minggu sore.....




Beberapa hari ini Panas benar-benar menyengat, seakan matahari terasa lebih dekat ke bumi. Hujan sore ini terasa sebagai oase yang muncul sayup-sayup di tengah terik dan panasnya padang pasir yang membentang luas. Tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan, karena hari-hari tetap terasa panas dengan debu yang beterbangan tertiup angin, sementara rerumputan terasa meranggas dan mengering sendu.
Tak terasa tiba-tiba langit sedikit kelabu, perlahan butiran-butiran kecil air mulai menggoyang batang-batang pandan di sudut inner cour rumahku. Perlahan derasnya mulai terasa, kecipak air sedikit memantul dari butiran koral kecil di taman, suara derasnya makin terasa. Keponakanku yang tertidur pulas di ujjung sofa tetap terlelap, tidak  merasakan sedikitpun butiran kecil air hujan yang sedikit tampias tertiup angin yang masuk ke dalam rumah.
Baru saja aku bangun dari tidur siang sejenak, menikmati sejenak garis-garis vertikal yang menari dengan latar dinding pagar berlapis kamprotan semen tanpa cat yang terlihat kelabu. Abu-abu, sedikit gelap, tapi menenangkan. Anak-anakku masih tertidur di kamar, mainan berantakan belum sempat dirapikan.
Aku suka hujan, lebih tepanya perindu hujan. Entah kenapa orang-orang lebih senang mengutuk dan mengeluhkan datangnya butiran air yang muncul dari titik jenuh awan, aku tidak tahu. Apakah mereka tidak merasakan apakah tertumpahnya air dari langit juga membasuh hati yang kering selain membasuh keringnya tanah dan bumi? Entahlah.
Bagiku, hujan tidak hanya oase bagi bumi, juga  oase bagi jiwa. Hujan mestinya membuat kita berhenti sejenak dari perjalanan dan ketergesa-gesaan yang dihela oleh sang waktu yang seolah memaksa kita untuk tidak sanggup berhenti, selelah apapun kondisi kita. Hmm, ...
Mestinya hujan bisa menjadi sumber inspirasi dari luapan jiwa, yang mewujud dalam karya. Kla Project menjadikan gerimis sebagai inspirasi terciptanya lagu dengan judul yang sama, termasuk juga lagu lawas Ratih Purwasih, mapun syair puisi dari Penyair Besar Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono. Semua bercerita tentang hujan, maupun hujan sebagai latar yang membangkitkan memori tentang suatu peristiwa, seseorang, atau apapun.
Mengingat gerimis, mengingat momen denganmu pada suatu ketika di pelataran parkir Kaliurang, seminggu setelah janji suci sepuluh tahun lalu. Gerimis yang tiba-tiba tertumpah pelan-pelan, bersamaan dengan pekat dan makin kelabunya awan. Segera kubentangkan payung lusuh kita, berjalan kita menapak tangga-tangga di hutan alam Kaliurang. Suara kepak sayap burung-burung liar yang terbang dari dahan menghindari hujan yang makin lama makin deras. Mistis dan romantis, baru seminggu kita mengenal masing-masing. Masihkah kau mengingat itu?
Begitu cepat waktu berlalu, sepuluh tahun sudah. Seolah baru kemaren. Butiran-butiran itu seolah mengingatkan kembali. Perlahan hujan mulai mereda, menyisakan basah pada dedaunan, tanah, dan kaca jendela. Sedikit tampias pada lantai rumah yang memang kubiarkan terbuka. Damai, hening, masih tertinggal, semoga tidak ikut menghilang bersama meredanya hujan. Dirimu bangun, apakah ikut merasakan gerimis juga di hatimu?
Ditulis Minggu malam hari, masih berharap besok pagi sang hujan akan datang lagi. J

Jumat, 19 September 2014

Haji Backpacker



Cerita dibuka dengan suasana mencekam dalam ruang interogasi di pos penjagaan perbatasan Iran. Mada, Sang tokoh utama dalam cerita ini menghadapi serangkaian intimidasi ditengah kecemasan dan keletihan dalam pengembaraan panjang yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Pengembaraan? Ya, spot cerita di Iran bukanlah awal dan akhir sebuah journey. Awal mula cerita adalah dari tanah air, Indonesia, yang kemudian berlanjut ke Thailand, Vietnam, Cina, India, Tibet, Nepal, Iran, dan berakhir di tanah suci Mekkah di Arab Saudi.
Novel perjalanan, demikianlah novel yang ditulis oleh Aguk Irawan MN ini disebut. Memang sebuah novel dengan genre sekarang mulai menjadi trend, yang sebenarnya merupakan novelisasi dari sebuah film dengan judul yang sama yang kemungkinan rilis 2 Oktober 2014, sebagaimana yang tertulis dalam pembatas bukunya. Makanya ketika kita membaca novel ini seolah-olah seperti menyaksikan alur sebuah film dalam penceritaan yang tidak linear. Plot yang maju mundur membuat kita sedikit demi sedikit mencerna konteks  dan latar belakang yang melingkupi pengembaraan seorang Mada.
Dari judul cerita yang ada mungkin anda sudah dapat menebak, bukan sebuah pengembaraan biasa seorang anak manusia dengan backpack lusuh di punggungnya dari satu negara ke negara lain. Bukan sekedar perjalanan fisik semata, tetapi juga perjalanan spiritual dan filosofis dari seorang Mada. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh editornya dalam prolog sebelum anda membuka bab demi bab, feel yang akan dirasakan tidak sama dengan petualangan filosofis dalam novel “Alkemis” karya Paulo Coelho yang lebih cenderung zen journey dengan nuansa kehampaan dan keheningan untuk menggali dan menyelami makna diri. Perjalanan spiritual Mada menjadi pengembaraan yang  menggebu dan “penuh” namun tetap syarat makna.
Pengembaraan Mada dari satu kota ke kota lain, dari satu negara ke negara lain berjalan paralel dengan pengembaraan batin yang melingkupi sang sosok utama, tentang dualisme cintanya, cinta Ilahiyah yang dibuktikan dengan keteguhan ibadahnya pada Sang Maha Kuasa, yang berhadapan dengan realita pahit kisah cintanya pada seorang Sofia. Kandasnya obsesi pada sofia menjadi pemberontakan Mada pada keadilan dan janji Allah, yang kemudian merubahnya menjadi sosok yang remuk redam dalam jiwa dan raga. Kematian kedua orang tuanya secara tragis dalam waktu yang berbeda makin merapuhkannya. Kerapuhan telah membawanya berkeliling negeri-negeri eksotis tanpa rencana, yang sebenarnya merupakan bagian dari tuntunan tangan Tuhan, yang membuat kesadarannya tersingkap i demi sedikit lewat berbagai peristiwa dan berbagai tokoh yang ditemuinya.
Banyak ambiguitas yang terus berkelindan sepanjang alur novel ini. Deskripsi lokasi yang secukupnya dan tidak berlebihan, yang bersamaan dengan mimpi dan realitas absurd yang muncul dalam pengembaraan dan pergulatan batin Mada, yang mau tidak mau akan membuat kita sedikit mengerutkan dahi. Negeri-negeri yang dijelajahi Mada tak lebih dari background perjalanan batin dan spiritualnya yang tergambar lewat pergulatan batin, mimpi-mimpi yang terus berulang dalam absurditas kejadian yang tidak mudah untuk dicerna dan diterjemahkan. Ada momen-momen yang membuat kita ikut bergerak cepat secepat pergerakan Mada ke berbagai negara, di saat tertentu ada saat-saat untuk sedikit berhenti sejenak bertafakur.
Berbulan-bulan pengembaraan panjang telah dilaluinya, yang berakhir di kota suci mekkah, bertepatan dengan bulan haji. Namun perjalanan panjang yang sebenarnya adalah perjalanan ke relung batinnya, yang mesti dilalui lewat proses yang “berdarah-darah”. Kesadaran jiwanya yang muncul kembali lewat berbagai peristiwa yang saling tali temali yang terhubung dari Kota ke kota di berbagai negara yang dilewatinya. Berkilo-kilo jarak yang ditempuh menghimpun berkilo-kilo kesadaran baru akan arti hidup dan Sang Maha Hidup.
Membaca novel ini selain mendapatkan pencerahan baru, juga  menjadi pengetahuan dan penasaran baru akan negeri-negeri yang dijelajahi Mada dengan Backpack terpanggul di punggungnya. Seolah kita juga menapak tilas dan menjelajah wilayah eksostis laksana kru National Geographic dengan berbagai keunikan dan keajaiban budayanya, walau hanya sekilas. Rasa penasaran mungkin akan akan terpuaskan Oktober nanti ketika filmnya muncul di layar perak.
Sementara ini nikmati dulu baris demi baris, bab demi bab, jiwa anda pun akan ikut mengembara dan bergerak, berpindah dari satu negeri ke negeri lain, menuai sebuah kesadaran baru. Karena sejauh-jauh perjalanan, toh kita mestinya akan kembali ke diri kita yang sebenarnya. Itulah makna perjalanan yang sebenarnya, berjalan menemukan “diri kita sendiri”. Sudahkan anda menemukannya?
Mulai ditulis di dini hari, tersambung keesokan harinya.

Selasa, 16 September 2014

Der Untergang



Saat itu perang dunia Kedua tengah berkecamuk di Eropa, Asia, dan Afrika. Berawal dari penyerbuan Nazi Jerman ke Polandia, yang menyebabkan Eropa menjadi medan peperangan besar yang membelah kekuatan dunia menjadi dua poros, Sekutu (Inggris, Perancis, Amerika, Rusia, dkk) dan Axis (Jerman, Itali, Jepang). Saat itu Jerman masih dalam posisi di atas angin, setelah serangkaian serangan menyebabkan sejumlah negara eropa takluk, termasuk Perancis.
November 1942,. Serombongan perempuan muda dalam kegelapan malam menerobos ke dalam pertahanan superketat di Markas Besar Adolf Hitler yang disebut WolfLair (sarang serigala) di Rastenburg, Prusia Timur. Mereka menjalani tes untuk untuk menjadi sekretaris Sang Fuhrer ( julukan/ gelar Hitler ), salah satunya Traudl Junge, gadis dari Munich. Pada akhirnya dia yang terpilih untuk menjadi salah satu sekretaris sang diktator besar, menulis dan mencatat semua statement , pernyataan, dan testamen Hitler, termasuk merekam keseharian dan dinamika politik yang  melingkupi Hitler beserta orang-orang disekitarnya dalam memorinya.
Berlin, 20 April 1945, 2,5 tahun kemudian bertepatan ulang tahun ke 56 Hitler.
Situasi sudah berubah, nasib Jerman berada di ujung tanduk setelah serangkaian kekalahan demi kekalahan dialaminya, termasuk sekutunya: Jepang dan Italia. Kehancuran Jerman di Stalingrad ( Battle of Stalingrad ) menjadi titik balik keruntuhan dan kejatuhan ( Der Untergang ) rejim Hitler. Rusia sudah hampir memasuki Berlin dari front Timur, sementara negara Eropa barat dan Amerika menyerbu dari front Barat. Tinggal menunggu waktu saja Berlin jatuh.
Moral serdadu Jerman runtuh, termasuk para Jenderalnya. Bahkan orang –orang di lingkaran dalam Hitler sudah mulai putus asa, dan mewacanakan untuk membuat kesepakatan damai dengan Sekutu, meskipun masih ada yang kukuh dan setia dengan ideologi Hitler sampai titik darah terakhir, salah satunya Menteri propaganda nazi, Joseph Goebbels dan isterinya, Magda. Hitler tetap bersikeras untuk tidak menyerah, dan memerintahkan para Jenderalnya untuk tetap melanjutkan perlawanan yang sia-sia.
Di dalam bunkernya, Hitler hanya bisa mendengar rentetan tembakan dan dentuman bom dari pihak Rusia yang menghujani langit Berlin. Wajah-wajah putus asa dan ketakutan terlihat dari para pembantu Hitler yang ikut bersembunyi dalam bunker. Persediaan amunisi, makanan, bahan bakar makin menipis, tidak ada gunanya untuk melanjutkan pertempuran lagi. Bujukan agar Hitler meninggalkan Berlin agar Jerman tidak segera jatuh ke tangan Rusia secara tragis diabaikan oleh sang Fuhrer. Tampaknya mimpi kebesaran Jerman raya menumpulkan akal sehat dan nalar Hitler.
Sang sekretaris, Traudl Junge menjadi saksi hari-hari terakhir Adolf Hitler dalam menanti saat keruntuhannya di dalam bunker, kemarahan Hitler terhadap para Jenderalnya yang tidak mentaati perintahnya, sikap keras kepalanya untuk tetap membiarkan rakyat Berlin semakin menderita oleh rangkaian serangan bom dari pihak Rusia, serta pernikahan yang dilakukan Hitler bersama Eva Braun, tepat sehari sebelum Hitler memutuskan untuk bunuh diri daripada menyerah setelah Berlin jatuh. Drama tragis ini yang kemudian dituangkan dalam buku “ Until The Final Hour”, yang ditulis bersama Melissa Muller. Buku ini menjadi salah satu inspirasi pembuatan film Downfall, film Jerman dan Austria yang merekonstruksi sepuluh hari terakhir Hitler menjelang kejatuhannya. Film Downfall yang dirilis tahun 2004 menjadi film tentang Hitler yang paling fenomenal. Deskripsi tentang Hitler dianggap sebagai yang paling akurat dibandingkan semua film yang menampilkan sosok Adolf Hitler, bahkan adegan kemarahan Hitler di hadapan pembantunya menjadi inspirasi parodi yang paling banyak dibuat dan muncul di Youtube.
Traudl Junge juga menjadi saksi parade keputusasaan dari para pamuja “tuhan” Hitler. Kejatuhan Hitler dianggap sebagai kehancuran segala-galanya, seolah hidup menjadi tidak berarti lagi. Salah satunya adalah Magda Goebbels, wanita yang sangat fanatik terhadap ideologi Sosialisme Nasional Hitler. Bersama suaminya akhirnya memutuskan untuk ikut bunuh diri bersama Hitler setelah sebelumnya meracun kelima anaknya dengan kapsul sianida. Tragis.
Bagi anda yang pernah menyaksikan film Downfall, setengah jam terakhir menjadi panggung hitam kesia-siaan hidup. Hitler telah demikian luar biasa menyihir para pengikutnya untuk meyakininya sebagai segala-galanya, hidup menjadi absurd bagaikan mata yang tertipu fatamorgana oase di padang pasir tandus. Keputusan Hitler untuk mengakhiri hidup secara tragis diikuti oleh sebagian pengikutnya yang terjebak keputusasaan akut. Sebagian lain memutuskan untuk tetap melanjutkan hidup, melarikan diri dari bunker setelah Rusia dengan jumawa memasuki kota Berlin tanpa perlawanan berarti.
Beruntung Traudl junge memilih untuk tetap bertahan hidup, meskipun tetap menjalani kehidupan yang tidak mudah pasca berakhirnya perang Dunia Kedua. Kesaksiannya dalam “Until the Final Hour” membuat dunia tahu apa sesungguhnya yang terjadi dalam kehidupan keseharian Hitler, terutama hari-hari terakhirnya (meskipun fakta kematiannya masih menjadi kontroversi bagi sebagian kalangan yang tidak mempercayai narasi resmi kematian Hitler dengan cara bunuh diri ).
Semoga ini menjadi pelajaran bersama, betapa tragis dan sia-sianya kehidupan yang dijalani bersama “dajjal” yang membiuskan racun seolah madu. Betapa kuat dan perkasanya dia, sesungguhnya ada Sang Maha Perkasa yang serba segala-galanya. Naik dan runtuhnya para dajjal menjadi sunatullah yang selalu dilupakan oleh para pembuta nurani, ibarat pesta yang pasti akan berakhir. Tidakkah kita berharap keabadian yang sesungguhnya?
bunker Hitler setelah jatuh ke tangan Rusia
Menjelang tengah malam, sayup-sayup”Ujung aspal PondoK Gede” dari Iwan Fals mengalun pelan dari speaker laptop, meratapi tersingkirnya pribumi oleh kekuatan kapital para pemodal,  atas nama modernitas dan kemajuan kota.
Tulisan selesai sampai di sini