Rabu, 26 Maret 2014

Menjelang pagi

Menjelang pagi, ketika para malaikat memenuhi langit di sepertiga malam terakhir, saatnya untuk tunduk sejenak, melepaskan diri dari dunia yang slalu memperbudak  mata, hati, dan nurani kita. Semakin lama semakin kita buta akan kefanaan dunia, obsesi keabadian pada mimpi-mimpi yang pasti akan berakhir.
Sadarkah kita bahwa dunia ini tak lebih dari mimpi sunyi, dan  dengan bodohnya kita meyakininya sebagai realitas yang sebenarnya, ibarat Neo yang tidak menyadari dirinya terbelenggu dalam realitas mesin yang memperbudaknya, sebelum dibangunkan oleh Morphous ( ingat trilogi the matrix ).
Hanya kepada-Nya kita berserah diri, tiada yang lain.
-dini hari, menjelang subuh-

Senin, 17 Maret 2014

membaca Inggit dan Maudy



Ada pepatah yang mengatakan dibalik seorang pemimpin besar yang sukses, ada sosok perempuan besar juga di sana.membaca kisah hidup Inggit Garnasih bersama Soekarno dalam perjalanan panjang perjuangan menuju Indonesia merdeka semakin menegaskan kebenaran pepatah ini. Meskipun  Inggit tidak tercatat secara resmi peranannya dalam narasi berbagai kisah sejarah resmi yang harus diajarkan di sekolah, tidak perlu diragukan lagi, kehadirannya mewarnai semangat dan spirit sosok Bung Karno dari masa pergerakan menuju gerbang kemerdekaan.

Kini sosok ibu Inggit Garnasih kembali muncul, bersamaan dengan beredarnya film Soekarno garapan Hanung Bramantyo. Memori perlahan kembali pada buku yang menceritakan sepak terjang dan suka duka Ibu Inggit dalam nendampingi Bung Karno: "Kuantar ke Gerbang" karya Ramadhan KH.

buku yang pernah muncul pada era 80-an ini kembali diterbitkan lagi, mungkin karena dampak publisitas dari film Soekarno tersebut, yang memang mengambil episode pra kemerdekaan, di mana sosok Ibu Inggit dominan dalam ruang hidup Soekarno, sebelum isteri-isteri lainnya mendampingi sang presiden flamboyan ini. tepat sekali judul roman historis ini "Kuantar ke Gerbang", karena memang hanya bu Inggit yang benar-benar mendampingi sepak terjang dan perjuangan Soekarno muda dalam upaya meraih mimpinya: Indonesia Merdeka. isteri-isteri Bung Karno selanjutnya lebih banyak mendampingi dalam era kemerdekaan sebagai pendamping sang presiden, meskipun tidak selalu berjalan dalam lorong hidup yang penuh tabur bunga.

sejak kubeli buku tersebut di gramedia, lembar demi lembar tak terasa menyedot dan menyihir perhatianku untuk terus mengikuti alur yang disusun sang sastrawan besar ramadhan KH. meskipun ayahanda dari Gilang ramadhan ini menolak bukunya sebagai buku sejarah (hanya menyebutkan sebagai roman yang berbasis  kisah nyata), kemampuannya dalam merangkai kisah yang runtut dengan detail penceritaannya, seolah sang pembaca roman ini terlibat dalam kisah dan setting cerita puluhan tahun silam ini.

Bagaimana sosok Inggit yang sederhana dan hanya berpendidikan rendah, bisa memposisikan diri sebagai sosok teman, kekasih, dan ibu dari calon pemimpin besar bangsa ini. ketabahan dan keteguhan dalam mendampingi Bung Karno yang mengalami pembuangan dari Ende Flores hingga Bengkulu, termasuk kemampuannya dalam mengganti peran Soekarno sebagai kepala keluarga ketika Soekarno harus meringkuk dalam penjara, kemampuannya dalam menjaga stamina psikis Putera Sang Fajar ini dalam pasang surut perjuangan, sungguh luar biasa.
malam makin larut, suara gemuruh seolah menandai hujan yang akan turun memecah kesunyian. perhatianku makin tersedot pada kisah mengharu biru sepasang Soekarno-Inggit. situasi panik menjelang kedatangan Jepang, sementara Soekarno terjebak dalam pembuanngan di Bengkulu. posis Pemerintah Hindia Belanda makin terjepit, genderang perang Pasifik makin nyata terdengar, mengiringi eropa yang sudah hingar bingar tersapu invasi Nazi. pemerintah kolonial mencoba untuk mengungsikan keluarga soekarno dari Bengkulu ke australia dengan perjalanan yang berdarah-darah menembus hutan sumatera.

mereka terjebak dalam hutan lebat dalam perjalanan yang ahrus ditempuh dengan berjalan kaki sementara hati Soekarno pun terjebak dalam situasi rumit. antara keinginan memiliki keturunan sendiri sementara Inggit sendiri mandul. sosok gadis bengkulu, Fatmah/ Fatmawati menjadi jebakan kehidupan mereka. Inggit,saat itu sudah berusia 50 tahun, tetap menolak diduakan.selanjutnya, bisa ditebak sendiri.

Jepang keburu masuk Indonesia, Belanda gagal melarikan Soekarno ke Australia. di Padang, Jepang menemukan soekarno, yang akhirnya bisa kembali ke Jawa. Inggit? Pada akhirnya memilih kembali ke Bandung, kota kelahirannya, memilih untuk tidak diduakan, setelah mendampingi lebih dari duapuluh tahun. bukan waktu yang sebentar, Soekarno pun mengakui betapa besar peran Inggit Garnasih dalam kehidupannya ( bisa dibaca dalam buku Soekarno penyambung Lidah Rakyat, karya Cindy Adams ).
menjelang Indonesia merdeka, Fatmawati menggantikan sosok Inggit di belakang Soekarno."Kuantar Ke Gerbang", demikian kira-kira kata Inggit. tiada penyesalan atas semua pengorbanan harta, jiwa, raga, dan waktu, dalam mengiringi hari-hari Si Bung, yang lebih banyak bertabur onak dan duri di kiri kanan dibandingkan semerbak bunga.

selesai kubaca buku yang luar biasa ini. sungguh beruntung Ramadhan KH pernah mewawancarai langsung Ibu Inggit, untuk dituliskan dalam kisah roman. masih ada sosok Inggit lain yang belum sempat "kubaca", yaitu Maudy Kusnaedi. kalau yang ini Inggit di layar seluloid : Soekarno, Indonesia Merdeka". apakah Maudy bisa menghidupkan kebesaran sosok Inggit, seperti dia sukses menghidupkan Zaenab dalam Si doel. entahlah, aku belum sempat mencermati Film yang sempat menimbulkan kontroversi ini beberapa waktu lalu.

lupakan maudy dahulu, malam makin larut. harus segera istirahat. buku Kuantar ke Gerbang segera kutaruh ke atas rak karena isteriku pun berjanji akan menuntaskan segera.