Sabtu, 24 Mei 2014

Memori 1955



Pemilu 2014 menjadi pemilu paling brutal dan kasar, dari rangkaian panjang sejarah Pemilihan Umum di Indonesia. Pragmatisme dan oportunisme ditunjukkan secara telanjang dan terang-teranngan di atas panggung megah demokrasi. Money politic dan kecurangan sistematis menjadi sebuah perayaan khas lima tahunan. Sebuah ironi demokrasi, yang ditunjukkan para caleg, tim suksesnya, partai induknya,  serta masyarakat banyak. 
Ideologi masing-masing partai sudah menjadi tidak jelas lagi. Ah, aku jadi teringat bagaimana para pendahulu saling berdebat panas mempertahankan dan memperjuangkan ideologi masing-masing dalam balutan kesederhaan hidup, pada era awal berakhirnya perang kemerdekaan. Rakyat berbondong-bondong datang ke lapangan bukan karena iming-iming receh yang tidak seberapa, tapi karena merindu orasi para tokoh ideologisnya, karena asa akan masa depan sebuah bangsa yang baru berdiri.

Ali Sastroamijoyo, PNI

M Natsir, Masyumi


Syahrir, PSI




















Aidit, PKI


Bagaimana dengan kita sekarang? 
Masihkah mempercayai demokrasi dengan membabi buta?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar