Hari minggu biasanya kumulai dengan mencari koran edisi
minggu, terutama Kompas. Tidak ada alasan yang istimewa sebenarnya, kecuali
adanya rubrik rumah beserta penghuninya, terutama memori yang mengendap dan
mewujud dari perjalanan hidup seseorang beserta keluarganya. Sebuah rumah
tentulah menjadi impian semua orang. Ada yang bisa mewujudkannya, walaupun
banyak juga yang masih menjadi impian semata.
Sebuah rumah tentulah telah menjadi bagian dari pencarian
dan obsesi manusia yang hidup di muka bumi. Semudah itukah membuat rumah? Haha,
trernyata lebih banyak yang berdarah-darah untuk mewujudkannya, Haha.
Sampai kini pun belum selesai,
meski telah lewat dua tahun kutempati. Selesai? Kapankah sebuah rumah
dikatakan selesai? Mungkin tidak akan pernah, karena rumah pun bagian dari daya
hidup yang terus tumbuh, bersama tumbuhnya hidup dan jejak memori penghuninya.
Orang barat membedakan istilah house dan home, karena memang
berbeda. House hanyalah fisik dari bangunan yang berdiri menjulang kaku, tidak
akan berarti apa-apa jika tidak ada kehidupan di dalamnya. Maka house
menyempurna menjadi home jika daya hidup tumbuh bersama menuanya sebuah rumah.
Apakah setiap rumah yang berpenghuni sudah berarti menjadi home? Tidak mudah
untuk dijawab, tergantung jiwa-jiwa yang ada di dalamnya hidup dan menghidupi
detik demi detik, hari demi hari, dan sepanjang keberlangsungan ruang dan waktu
yang menjadi saksi sebuah rumah.
Maka sebuah rumah yang homy tidak bisa ditentukan pada rumah
yang megah dan luas bagai istana, tetapi bisa saja muncul pada rumah kecil
mungil sederhana. Mungkin inilah seperti yang didambakan dalam lengkingan suara
ahmad Albar/ Godbless atau duet Ita Purnamasari dan Yankson, sebuah rumah yang
mendamaikan dan menenangkan penghuninya. Tidak perlu besar, tidak perlu megah.
Kecil, sederhan, selama itu berjiwa. Sudahkah kita mendapatkannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar