Senin, 21 Desember 2015

Langit Kelabu di benteng Fort Rotterdam Makkassar



Dari balik dinding kaca lebar dari kamar hotel Grand Clarion di Jl AP Pettarani  Makassar terlihat lansekap kota Makassar dengan sosok Menara Pinishi Universitas Negeri Makassar yang menjulang sendirian diantara gedung-gedung yang lebih rendah. Cuaca terlihat murung sejak semalaman, setibanya ceck in ke sini. Tetesan air hujan yang tertumpah sejak semalaman tanpa henti, meninggalkan jejak pada dinding kaca, menciptakan pendar embun yang sedikit memburamkan kejernihan kaca. Tidak terlihat tanda-tanda akan adanya kecerahan pada langit, padahal banyak agenda yang harus dilakukan hari ini.

Ini memang kali pertamaku datang ke Makassar untuk mendampingi Tim Ahli Bangunan Gedung Kota Semarang melakukan kunjungan kerja dan studi banding di sini. Sehari sebelumnya kami sudah ke Balikpapan. Penerbangan dari Balikpapan ke Makassar yang cukup memacu adrenalin karena kondisi cuaca yang buruk, yang ternyata masih berlanjut setiba kami di Makassar.
Turun dari lantai 11 menuju area breakfast hujan malah makin deras. Dari kaca lobby hotel terlihat guratan rembesan air hujan yang makin mengaburkan kejernihan kaca. Entahlah, apakah agenda hari ini bisa terlaksana dengan baik.

Benteng Fort Rotterdam
 
sketsa cat air lansekap Benteng Fort Rotterdam ( pena pigma micron, portabel watercolor Sakura Koi, cansonpaper A5 )

Sketsa Cat Air selasar Museum La Galigo, komplek Benteng Fort Rotterdam (
pena pigma micron, portabel watercolor Sakura Koi, cansonpaper A5)

Sore hari, rinai hujan mulai berhenti menyisakan tetesan dan genangan di sana sini ketika akhirnya kami sampai di salah satu situs yang cukup terkenal di Makassar, yaitu benteng Fort Rotterdam/ benteng Ujung Pandang. Seharian ini kami sudah selesaikan agenda utama di Dinas Tata Kota Makassar untuk sharing dan bertukar pengalaman tentang penyelenggaraan bangunan gedung, masih sempat kami shalat Jumat di Masjid Al Markaz Al Islami, salah satu ikon kota Makassar. Kelabunya langit Makassar selalu mengiringi perjalanan kami seharian ini, berselang-seling derasnya hujan dan rintik gerimis.
Sempatkan dulu kami untuk berfoto-foto di depan tulisan Fort Rotterdam sebelum akhirnya masuk ke dalam kompleks benteng. Ternyata di dalam cukup luas dengan sebagian besar bangunan masih tersisa dan kelihatannya terawat baik.
Pandanganku menyapu lansekap yang terpampang di depan mata, beberapa pengunjung masih terlihat dalam sisa sore yang sebentar lagi hilang, diganti gelapnya malam. Beberapa teman mulai berpencar menyusuri lokasi benteng.
Sebagai informasi, nama asli benteng ini adalah Benteng ujung Pandang, yang dibangun oleh Raja Gowa ke 9 pada tahun 1545, dengan menggunakan batuan karst dari Maros, dengan bentuk seekor penyu. Perjanjian Bungayya mengharuskan menyerahkan benteng ini kepada penjajah Belanda, yang kemudian oleh Cornelis Speelman mengubahnya menjadi benteng Fort Rotterdam, sesuai nama tempat asalnya. Sungguh sebuah kisah sejarah yang pedih. Sisa kepedihan ini masih terlihat dari kondisi benteng yang mulai melapuk tergerus jaman dan masa. Lubang-lubang seukuran kelapa bekas tembakan meriam Belanda masih terlihat di sana-sini, dengan tumbuhan lumut yang terlihat berebut melapukkan keperkasaan benteng ini.
Melewati bekas penjara Pangeran diponegoro yang sayangnya kami tidak bisa masuk ke sana, kesan kemurungan dari sisa jejak historis yang pedih masih terasa. Kucoba untuk naik tangga batu menuju salah satu bastion benteng (terdapat empat bastion ), yang dari sana terlihat  lansekap pesisir kota Makassar.
Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi 400 tahun lalu, ketika benteng yang menjadi markas pasukan katak Gowa Tallo harus jatuh ke tangan Belanda. Benteng ini dibangun ketika terjadi ketegangan antara VOC yang memaksakan monopoli perdagangan dan melarang berniaga dengan Portugis bagi armada niaga Kerajaan Gowa, sementara Sultan Alauddin tetap berpegang pada komitmen pada perdagangan yang tidak didikte siapapun. Ketika pecah perang Makassar pada 1666-1667 pada masa Sultan Hasanuddin, benteng inipun akhirnya harus jatuh ke tangan Belanda berdasarkan Perjanjian Bungayya, dan fungsinya berubah dari benteng pertahanan menjadi gudang rempah-rempah milik penjajah Belanda. Ironi yang tetap berulang hingga kini, ketika satu persatu harta kekayaan bangsa harus direlakan akibat keserakahan sebagian kaum yang merasa kuat. Hiruk pikuk freeport akhir-akhir ini menguatkan persepsi tersebut, bahwa penjajahan masih tetap langgeng dalam betuk apapun.
Masih tersisa parit di sekeliling benteng, sebagaimana tipikal benteng pertahanan pada umumnya, dengan kondisi yang kotor. Rintik hujan mulai turun kembali sesaat ketika aku sedikit mengabadikan lansekap atas dengan mode panoramic view, segera turun kembali. Kali ini yang kutuju adalah Museum La Galligo yang menempati bangunan kuno memanjang dengan deretan pilar-pilar klasiknya pada selasar.
Museum La Galligo menyimpan beberapa benda peninggalan masa lalu yang merepresentasikan sisa kejayaan Kerajaan Gowa dan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu. Meski sebagian benda purbakala yang ada merupakan replika/ prototipe, bukan benda asli, namun keberadaannya cukup menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada era Kerjaan Gowa dan sekitarnya. Suasana di dalam cukup temaram, karena fokus cahaya lampu pada obyek benda purbakala yang dipamerkan. Sempat kumanfaatkan kamera untuk merekam sisa saksi bisu kejayaan masyarakat Sulawesi masa lalu.
 Puas berkeliling, kembali keluar untuk mengeksplorasi lansekap benteng seluas 3 ha tersebut. Ternyata ada sekitar 16 bangunan peninggalan kolonnial di sana yang masih terawat baik, dengan ruang terbuka hijau yang cukup luas. Revitalisasi bangunan yang ada memang sudah digiatkan beberapa tahun yang lalu, dan sudah kelihatan hasilnya, meski tidak semua bangunan bisa dikunjungi.
Rintik hujan mulai reda, menyisakan tetesan air di dedaunan. Beberapa pengunjung masih terlihat duduk-duduk di deretan teras. Senja mulai jatuh, sebentar lagi akan ditutup. Kucepatkan langkah untuk mengamati beberapa bangunan yang ada di ujung bastion belakang. Sebagian bangunan tertutup rapat, tidak bisa diakses, sebagian dimanfaatkan sebagai kantor oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Tiba-tiba langit kembali gelap, sebagian pengunjung terlihat mulai keluar dari area dalam benteng. Masih kubertahan dengan mengambil beberapa foto lansekap benteng dari atas bastion ujung belakang. Suasana kontras langit gelap sebagai background dengan bangunan-bangunan tua yang terlihat masih kukuh bertahan dari terjangan jaman yang terus bergerak maju tanpa henti, menjadi obyek yang cukup “fotogenik”, meski suasana terlihat mati karena pengunjung mulai berkurang. Gerimis datang lagi, ternyata masih ada sisa-sisa air di angkasa yang masih tertahan untuk turun ke bumi. Bimbang antara bertahan sejenak atau segera keluar benteng, nekat kucoba utuk mengekspore lagi lansekap benteng dari arah bastion depan. Terlambat, air tertumpah makin deras dan ganas.
 Bersama dua rekan akhirnya hanya bisa menepi di kedai kecil di dalam benteng, mengamati derasnya air yang mengguyur bangunan-bangunan tua ini, membawa kabut dan angin yang cukup kencang. Sebagian butiran hujan terbawa angin, sedikit mermbasahi baju kami, meski sudah menepi di dalam kedai. Ternyata hanya kami bertiga yang masih tertahan di dalam benteng, yang lain ternyata sudah menunggu di dalam bis.

Untung saja, kru bis ada yang segera datang menjemput di saat hujan masih enggan berlalu. Meski berpayung cukup lebar, derasnya hujan masih tetap menyisakan air yang cukup membasahi badan kami.  Hujan mulai reda lagi, sesaat kami meninggalkan area parkir Benteng Fort Rotterdam. Pantai Losari ternyata dekat dari sini. Sampai di sana, tumpahan air sudah terhenti lagi, menyisakan genangan air di plaza luas yang membiaskan dan memantulkan tulisan besar Makassar di sudut dermaga. Segera kami berfoto-foto di sini untuk membuktikan kami pernah ke sini J. Agenda hari ini selesai sudah, namun kelabunya langit Makassar belum juga usai. Berharap ada kecerahan esok hari, karena harus segera mengejar penerbangan kembali ke Semarang.
selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar