Dari balik dinding kaca lebar dari kamar hotel
Grand Clarion di Jl AP Pettarani Makassar terlihat lansekap kota Makassar
dengan sosok Menara Pinishi Universitas Negeri Makassar yang menjulang
sendirian diantara gedung-gedung yang lebih rendah. Cuaca terlihat murung sejak
semalaman, setibanya ceck in ke sini. Tetesan air hujan yang tertumpah sejak semalaman tanpa
henti, meninggalkan jejak pada dinding kaca, menciptakan pendar embun yang sedikit memburamkan kejernihan kaca. Tidak terlihat tanda-tanda akan
adanya kecerahan pada langit, padahal banyak agenda yang harus dilakukan hari
ini.
Ini memang kali pertamaku datang ke Makassar
untuk mendampingi Tim Ahli Bangunan Gedung Kota Semarang melakukan kunjungan
kerja dan studi banding di sini. Sehari sebelumnya kami sudah ke Balikpapan.
Penerbangan dari Balikpapan ke Makassar yang cukup memacu adrenalin karena
kondisi cuaca yang buruk, yang ternyata masih berlanjut setiba kami di
Makassar.
Turun dari lantai 11 menuju area breakfast
hujan malah makin deras. Dari kaca lobby hotel terlihat guratan rembesan air
hujan yang makin mengaburkan kejernihan kaca. Entahlah, apakah agenda hari ini
bisa terlaksana dengan baik.
Benteng
Fort Rotterdam
|
sketsa cat air lansekap Benteng Fort Rotterdam ( pena pigma micron, portabel watercolor Sakura Koi, cansonpaper A5 ) |
|
Sketsa Cat Air selasar Museum La Galigo, komplek Benteng Fort Rotterdam ( pena pigma micron, portabel watercolor Sakura Koi, cansonpaper A5) |
Sore hari, rinai hujan mulai berhenti
menyisakan tetesan dan genangan di sana sini ketika akhirnya kami sampai di
salah satu situs yang cukup terkenal di Makassar, yaitu benteng Fort Rotterdam/
benteng Ujung Pandang. Seharian ini kami sudah selesaikan agenda utama di Dinas
Tata Kota Makassar untuk sharing dan bertukar pengalaman tentang
penyelenggaraan bangunan gedung, masih sempat kami shalat Jumat di Masjid Al
Markaz Al Islami, salah satu ikon kota Makassar. Kelabunya langit Makassar
selalu mengiringi perjalanan kami seharian ini, berselang-seling derasnya hujan
dan rintik gerimis.
Sempatkan dulu kami untuk berfoto-foto di
depan tulisan Fort Rotterdam sebelum akhirnya masuk ke dalam kompleks benteng.
Ternyata di dalam cukup luas dengan sebagian besar bangunan masih tersisa dan
kelihatannya terawat baik.
Pandanganku menyapu lansekap yang terpampang
di depan mata, beberapa pengunjung masih terlihat dalam sisa sore yang sebentar
lagi hilang, diganti gelapnya malam. Beberapa teman mulai berpencar menyusuri
lokasi benteng.
Sebagai informasi, nama asli benteng ini
adalah Benteng ujung Pandang, yang dibangun oleh Raja Gowa ke 9 pada tahun
1545, dengan menggunakan batuan karst dari Maros, dengan bentuk seekor penyu.
Perjanjian Bungayya mengharuskan menyerahkan benteng ini kepada penjajah
Belanda, yang kemudian oleh Cornelis Speelman mengubahnya menjadi benteng Fort
Rotterdam, sesuai nama tempat asalnya. Sungguh sebuah kisah sejarah yang pedih.
Sisa kepedihan ini masih terlihat dari kondisi benteng yang mulai melapuk
tergerus jaman dan masa. Lubang-lubang seukuran kelapa bekas tembakan meriam
Belanda masih terlihat di sana-sini, dengan tumbuhan lumut yang terlihat
berebut melapukkan keperkasaan benteng ini.
Melewati bekas penjara Pangeran diponegoro
yang sayangnya kami tidak bisa masuk ke sana, kesan kemurungan dari sisa jejak
historis yang pedih masih terasa. Kucoba untuk naik tangga batu menuju salah
satu bastion benteng (terdapat empat bastion ), yang dari sana terlihat lansekap pesisir kota Makassar.
Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi 400
tahun lalu, ketika benteng yang menjadi markas pasukan katak Gowa Tallo harus
jatuh ke tangan Belanda. Benteng ini dibangun ketika terjadi ketegangan antara
VOC yang memaksakan monopoli perdagangan dan melarang berniaga dengan Portugis
bagi armada niaga Kerajaan Gowa, sementara Sultan Alauddin tetap berpegang pada
komitmen pada perdagangan yang tidak didikte siapapun. Ketika pecah perang
Makassar pada 1666-1667 pada masa Sultan Hasanuddin, benteng inipun akhirnya
harus jatuh ke tangan Belanda berdasarkan Perjanjian Bungayya, dan fungsinya
berubah dari benteng pertahanan menjadi gudang rempah-rempah milik penjajah
Belanda. Ironi yang tetap berulang hingga kini, ketika satu persatu harta
kekayaan bangsa harus direlakan akibat keserakahan sebagian kaum yang merasa
kuat. Hiruk pikuk freeport akhir-akhir ini menguatkan persepsi tersebut, bahwa
penjajahan masih tetap langgeng dalam betuk apapun.
Masih tersisa parit di sekeliling benteng,
sebagaimana tipikal benteng pertahanan pada umumnya, dengan kondisi yang kotor.
Rintik hujan mulai turun kembali sesaat ketika aku sedikit mengabadikan
lansekap atas dengan mode panoramic view, segera turun kembali. Kali ini yang
kutuju adalah Museum La Galligo yang menempati bangunan kuno memanjang dengan
deretan pilar-pilar klasiknya pada selasar.
Museum La Galligo menyimpan beberapa benda
peninggalan masa lalu yang merepresentasikan sisa kejayaan Kerajaan Gowa dan
kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan pada masa itu. Meski sebagian benda
purbakala yang ada merupakan replika/ prototipe, bukan benda asli, namun
keberadaannya cukup menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat Sulawesi
Selatan pada era Kerjaan Gowa dan sekitarnya. Suasana di dalam cukup temaram,
karena fokus cahaya lampu pada obyek benda purbakala yang dipamerkan. Sempat
kumanfaatkan kamera untuk merekam sisa saksi bisu kejayaan masyarakat Sulawesi
masa lalu.
Puas
berkeliling, kembali keluar untuk mengeksplorasi lansekap benteng seluas 3 ha
tersebut. Ternyata ada sekitar 16 bangunan peninggalan kolonnial di sana yang
masih terawat baik, dengan ruang terbuka hijau yang cukup luas. Revitalisasi
bangunan yang ada memang sudah digiatkan beberapa tahun yang lalu, dan sudah
kelihatan hasilnya, meski tidak semua bangunan bisa dikunjungi.
Rintik hujan mulai reda, menyisakan tetesan
air di dedaunan. Beberapa pengunjung masih terlihat duduk-duduk di deretan
teras. Senja mulai jatuh, sebentar lagi akan ditutup. Kucepatkan langkah untuk
mengamati beberapa bangunan yang ada di ujung bastion belakang. Sebagian
bangunan tertutup rapat, tidak bisa diakses, sebagian dimanfaatkan sebagai
kantor oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar. Tiba-tiba langit kembali
gelap, sebagian pengunjung terlihat mulai keluar dari area dalam benteng. Masih
kubertahan dengan mengambil beberapa foto lansekap benteng dari atas bastion
ujung belakang. Suasana kontras langit gelap sebagai background dengan
bangunan-bangunan tua yang terlihat masih kukuh bertahan dari terjangan jaman
yang terus bergerak maju tanpa henti, menjadi obyek yang cukup “fotogenik”,
meski suasana terlihat mati karena pengunjung mulai berkurang. Gerimis datang
lagi, ternyata masih ada sisa-sisa air di angkasa yang masih tertahan untuk
turun ke bumi. Bimbang antara bertahan sejenak atau segera keluar benteng,
nekat kucoba utuk mengekspore lagi lansekap benteng dari arah bastion depan.
Terlambat, air tertumpah makin deras dan ganas.
Bersama
dua rekan akhirnya hanya bisa menepi di kedai kecil di dalam benteng, mengamati
derasnya air yang mengguyur bangunan-bangunan tua ini, membawa kabut dan angin
yang cukup kencang. Sebagian butiran hujan terbawa angin, sedikit mermbasahi
baju kami, meski sudah menepi di dalam kedai. Ternyata hanya kami bertiga yang
masih tertahan di dalam benteng, yang lain ternyata sudah menunggu di dalam
bis.
Untung saja, kru bis ada yang segera datang
menjemput di saat hujan masih enggan berlalu. Meski berpayung cukup lebar,
derasnya hujan masih tetap menyisakan air yang cukup membasahi badan kami. Hujan mulai reda lagi, sesaat kami
meninggalkan area parkir Benteng Fort Rotterdam. Pantai Losari ternyata dekat
dari sini. Sampai di sana, tumpahan air sudah terhenti lagi, menyisakan
genangan air di plaza luas yang membiaskan dan memantulkan tulisan besar
Makassar di sudut dermaga. Segera kami berfoto-foto di sini untuk membuktikan
kami pernah ke sini J. Agenda hari ini selesai sudah, namun kelabunya langit Makassar belum
juga usai. Berharap ada kecerahan esok hari, karena harus segera mengejar
penerbangan kembali ke Semarang.
selesai